Sejarah dunia selalu menceritakan kisah-kisah menarik tentang bagaimana orang-orang, kelompok politik, atau tentara melawan pemimpin mereka. Penyerangan Bastille di Prancis pada 1789, Revolusi Bolshevik di Rusia pada 1917, perebutan kekuasaan oleh militer di Irak pada 1958, hingga penyerangan Gedung Capitol di Amerika Serikat pada 2021 adalah contoh-contoh perlawanan yang mengganggu pemerintahan yang sah saat itu. Kejadian-kejadian ini menunjukkan bahwa perlawanan bukan hanya bagian dari sejarah, tetapi juga sesuatu yang terus terjadi karena adanya masalah sosial dan politik.
Jika diperhatikan, cara perlawanan terjadi selalu mirip, yaitu orang-orang atau kelompok tertentu merasa tertekan, lalu mengumpulkan kekuatan untuk menyerang pusat pemerintahan. Bastille di Prancis, Istana Musim Dingin di Rusia, istana raja di Irak, hingga Capitol di Amerika, semuanya menjadi simbol perlawanan yang didorong oleh keinginan untuk perubahan. Akan tetapi, di balik sorak-sorai orang banyak dan semangat perubahan besar, sering kali ada kekerasan dan kerusakan yang terjadi.
Dalam ajaran Islam, kejadian seperti ini disebut dengan istilah bughat. Bughat diartikan sebagai perlawanan sekelompok orang terhadap pemimpin yang sah dengan menggunakan kekuatan dan tindakan kasar. Islam menganggap bughat sebagai tindakan berbahaya yang bisa menyebabkan kekacauan dalam masyarakat. Al-Qur’an dan hadis menekankan pentingnya menjaga persatuan umat, karena saat suatu negara terpecah karena perlawanan, maka yang didapat bukanlah kebebasan yang sebenarnya, melainkan hancurnya kehidupan bersama.
Menariknya, alasan di balik bughat dulu maupun sekarang sering kali terdengar masuk akal, yaitu meminta keadilan, menolak penindasan, atau berjuang untuk demokrasi. Namun, Islam mengajarkan bahwa perubahan tidak boleh dilakukan dengan cara yang merusak. Kekerasan dan perebutan kekuasaan sering kali membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat. Perubahan besar bisa mengganti pemimpin, tetapi sering meninggalkan luka yang dalam yang dirasakan oleh generasi berikutnya.
Dalam catatan sejarah, kita bisa melihat bagaimana perubahan besar di Prancis memang berhasil menggulingkan kerajaan, tetapi juga menciptakan masa teror yang menyebabkan ribuan orang meninggal. Begitu juga di Rusia, Revolusi Bolshevik berhasil mengakhiri kekuasaan Tsar, tetapi membuka jalan bagi pemerintahan komunis yang kejam. Dari sudut pandang fikih, hal ini menunjukkan bahwa bughat biasanya membawa kerusakan daripada perbaikan. Bahkan ketika tujuan awalnya baik, cara yang diambil sering kali bertentangan dengan prinsip syariat yang menekankan perdamaian dan kerja sama.
Fiqih Islam memberikan aturan yang jelas, yaitu selama pemimpin tidak secara terang-terangan tidak beriman atau menolak hukum Allah, maka patuh kepada pemimpin adalah suatu kewajiban. Kritik, protes, dan saran masih diperbolehkan, tetapi harus dilakukan dengan damai dan membangun. Bughat hanya diperbolehkan jika pemimpin secara total mengingkari iman, bukan hanya karena perbedaan pandangan politik atau ketidakpuasan terhadap kebijakan. Ini mengarahkan umat untuk tidak terbawa suasana dalam semangat perubahan yang tidak terkendali, melainkan mengutamakan keamanan dan persatuan.
Dari sudut pandang ini, kita dapat melihat hubungan antara sejarah perlawanan di dunia dan ajaran Islam. Apa yang terlihat sebagai perjuangan hebat dari satu sisi, dalam pandangan fikih bisa jadi merupakan bentuk bughat yang berbahaya. Perbedaan cara pandang ini mengajarkan bahwa tidak semua jalan menuju perubahan harus ditempuh dengan kekerasan. Islam mengajarkan bahwa kesabaran, doa, dan usaha damai memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kekerasan.