Di tepian Sungai Musi yang tenang, berdiri megah sebuah benteng tua yang telah menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Kota Palembang, yakni Benteng Kuto Besak (BKB). Tidak hanya menjadi bangunan bersejarah, Kuto Besak juga menyimpan kisah tentang kejayaan, perlawanan, dan identitas budaya yang tak lekang oleh waktu. Benteng ini bukan hanya tumpukan batu bata tua, Ia adalah potongan hidup dari masa silam yang masih berdenyut di tengah kota modern.
Benteng Kuto Besak dibangun pada abad ke-18, tepatnya mulai dikerjakan pada tahun 1780 dan rampung pada tahun 1797. Benteng ini merupakan simbol kekuatan Kesultanan Palembang Darussalam yang kala itu berada di bawah kepemimpinan Sultan Mahmud Badaruddin I. Berbeda dari benteng lain yang dibangun oleh kolonial, BKB dibangun oleh rakyat pribumi dengan arsitektur dan tenaga lokal, menjadikannya istimewa dari segi sejarah dan struktur sosial.
Sebagai benteng pertahanan, Kuto Besak memiliki bentuk persegi empat dan dikelilingi tembok setinggi hampir 10 meter dengan ketebalan sekitar 1,99 meter. Di masa lampau, benteng ini dilengkapi dengan bastion (menara penjaga) di setiap sudutnya, serta jembatan penghubung yang menghubungkan kompleks benteng dengan pemukiman sekitarnya. Keberadaan benteng ini juga menjadi simbol kekuatan militer dan politik Kesultanan Palembang sebelum akhirnya diambil alih oleh Belanda pada 1821.
Selain nilai sejarahnya, lokasi Benteng Kuto Besak yang strategis menjadikannya titik penting dalam perkembangan kota. Terletak di pusat kota Palembang, di tepi Sungai Musi, benteng ini dikelilingi oleh berbagai bangunan bersejarah lainnya, seperti Masjid Agung, Jembatan Ampera, dan Pasar 16 Ilir. Kawasan ini pun menjadi magnet wisata, budaya, dan edukasi, memperkaya citra Palembang sebagai kota warisan.
Hingga kini, Benteng Kuto Besak tetap kokoh berdiri dan menjadi markas Kodam II/Sriwijaya. Meski tidak sepenuhnya terbuka untuk umum, pengunjung tetap dapat menikmati keindahan arsitektur dan suasana historis dari luar tembok benteng. Pada malam hari, pencahayaan yang menghiasi kawasan ini menambah kesan dramatis, seolah menghidupkan kembali memori masa lalu yang tersimpan di setiap celah batu.
Tak sedikit masyarakat lokal yang menyuarakan harapan agar Benteng Kuto Besak dapat difungsikan lebih luas sebagai situs budaya dan edukasi sejarah. Mereka menginginkan generasi muda lebih mengenal akar sejarahnya, bukan hanya lewat buku pelajaran, tetapi melalui pengalaman langsung dengan situs warisan bangsa. Pemerintah daerah pun tengah mengkaji kemungkinan revitalisasi kawasan ini agar nilai sejarah dan estetikanya semakin dapat dinikmati masyarakat luas.
Selain itu, keberadaan BKB juga membuka peluang pengembangan sektor pariwisata sejarah. Dengan pengelolaan yang terarah, kawasan ini bisa menjadi museum terbuka yang menggabungkan narasi sejarah dengan teknologi interaktif. Pengunjung tidak hanya diajak melihat, tetapi juga merasakan bagaimana atmosfer kehidupan di masa lalu, menciptakan keterhubungan emosional antara masa kini dan masa silam.
Di balik dinding kokohnya, Benteng Kuto Besak menyimpan ribuan kisah tentang keberanian, perlawanan, dan kejayaan. Ia tidak hanya berdiri sebagai struktur fisik, tetapi juga sebagai identitas dan kebanggaan masyarakat Palembang. Seperti halnya Sungai Musi yang tak henti mengalir, kisah tentang BKB pun terus hidup, menjadi inspirasi untuk merawat sejarah dan memperkuat jati diri bangsa.