Di tengah tuntutan akademik yang semakin tinggi, sejumlah mahasiswa kini mengalami tekanan batin yang tidak terlihat oleh orang lain. Fenomena ini dikenal dengan istilah Duck Syndrome, sebuah metafora yang menggambarkan kondisi di lmana seseorang tampak tenang di permukaan seperti bebek yang berenang, tetapi diam-diam kewalahan di bawah air.
Istilah ini berasal dari analogi bahwa seekor bebek terlihat santai dan mudah bergerak di atas permukaan air, padahal di bawahnya, kakinya bekerja keras untuk tetap berada di tempat. Sama halnya dengan para mahasiswa yang sering kali menampilkan wajah percaya diri dan kesuksesan di hadapan teman-temannya, tetapi secara internal sedang bergulat dengan stres, kecemasan, dan ketakutan akan penilaian orang lain.
Syndrome ini umumnya dialami oleh mahasiswa yang merasa harus selalu tampil sempurna dalam segala aspek kehidupan mereka. Mereka mungkin aktif dalam organisasi, memiliki IPK tinggi, magang di perusahaan ternama, bahkan punya penghasilan tambahan. Namun di balik itu semua, mereka kerap merasa lelah secara emosional dan fisik tanpa ada yang menyadari penderitaan tersebut.
Faktor penyebab utama Duck Syndrome adalah budaya kompetitif yang kuat di lingkungan perguruan tinggi. Banyak mahasiswa merasa harus terus membuktikan kemampuan mereka agar tidak tertinggal dari rekan-rekan sebaya. Tekanan juga datang dari keluarga, ekspektasi sosial, serta gambaran hidup ideal yang ditontonkan melalui media sosial.
Akibatnya, banyak mahasiswa memilih untuk diam dan menyembunyikan rasa kewalahan mereka. Mereka takut dinilai lemah atau gagal jika mengungkapkan kelelahan mental. Hal ini justru membuat gejala stres semakin memburuk, dan pada beberapa kasus, bisa berkembang menjadi gangguan kecemasan hingga depresi yang lebih serius.
Lebih Cepat dari 5G, China Kini Kuasai Jaringan Super Cepat 10G! Baca Selengkapnya
Institusi pendidikan mulai menyadari dampak buruk dari fenomena ini dan mulai mengambil langkah untuk memberikan dukungan kepada mahasiswa. Layanan konseling, program kesehatan mental, hingga kampanye anti-stigma telah digalakkan di berbagai kampus sebagai upaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih empatik dan mendukung.
Selain dari institusi, dukungan dari teman sebaya juga sangat penting dalam mengatasi Duck Syndrome. Saat seorang teman berani membuka diri tentang perasaannya, respon yang tepat bukanlah penilaian, melainkan empati dan dorongan untuk mencari pertolongan profesional jika dibutuhkan.