HUT ke-80 TNI, LDII Tekankan Pentingnya Profesionalisme dan Penguatan Moral Prajurit Hadapi Tantangan Non-Militer
Jakarta, 5 Oktober 2025 --- Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso menegaskan bahwa tantangan bangsa di masa depan semakin kompleks. Selain ancaman militer konvensional, Indonesia kini menghadapi tantangan non-militer seperti perang siber, disinformasi, radikalisme, serta krisis energi dan pangan.
"TNI harus mampu adaptif dan terus berinovasi menemukan cara baru untuk menghadapi perang non-konvensional tersebut," ujar KH Chriswanto.
Menurutnya, prajurit TNI harus memiliki keseimbangan antara profesionalisme dan kekuatan spiritual.
"Profesionalisme harus berjalan beriringan dengan penguatan moral dan spiritual prajurit. TNI harus tetap waspada, tidak boleh lengah, dan selalu menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya," tegasnya.
Chriswanto juga mengingatkan bahwa kekuatan utama TNI bukan hanya terletak pada kecanggihan alutsista, melainkan juga pada karakter dan moral prajurit.
"Kami berkomitmen mendukung TNI melalui pembinaan generasi muda agar berkarakter religius, nasionalis, dan cinta tanah air. Kekuatan bangsa tidak hanya ditentukan oleh teknologi, tetapi juga oleh akhlak, iman, dan keteguhan moral rakyatnya," tambahnya.
Dalam kesempatan tersebut, KH Chriswanto menegaskan pentingnya netralitas TNI di tengah dinamika politik nasional.
"TNI harus berdiri di atas kepentingan bangsa, bukan kepentingan politik sesaat. Kesetiaan TNI hanya kepada rakyat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia," ujarnya.
Pernyataan ini menegaskan posisi LDII yang mendukung profesionalisme TNI sebagai penjaga kedaulatan sekaligus pengawal demokrasi.
Sementara itu, Ketua DPP LDII Prof Singgih Tri Sulistiyono, yang juga Guru Besar Sejarah Universitas Diponegoro, menilai peringatan HUT ke-80 TNI sebagai momentum refleksi perjalanan panjang institusi pertahanan negara sejak 1945.
Ia menjelaskan bahwa TNI telah melalui empat fase penting:
- Masa Revolusi (1945--1949) -- TNI menjadi garda bangsa mempertahankan kemerdekaan.
- Era Konsolidasi (1950--1965) -- TNI fokus menumpas pemberontakan dan menjaga stabilitas nasional.
- Masa Orde Baru (1966--1998) -- TNI menjadi kekuatan politik dominan, namun kemudian mengalami kritik atas dwifungsinya.
- Era Reformasi (1998--sekarang) -- TNI dipisahkan dari Polri dan diarahkan kembali pada profesionalisme militer murni.
"Sekarang TNI bergerak menuju militer profesional yang modern melalui modernisasi alutsista, peningkatan kualitas SDM, dan peran aktif dalam diplomasi pertahanan global," jelas Singgih.
Tema peringatan HUT ke-80 TNI tahun ini menekankan pada profesionalisme, modernisasi, dan kedekatan dengan rakyat. Menurut Prof Singgih, tema tersebut mencerminkan jati diri TNI sejak awal berdiri.
"Profesionalisme berarti netralitas politik dan peningkatan kualitas prajurit. Modernisasi adalah syarat menghadapi spektrum ancaman baru. Sedangkan kedekatan dengan rakyat merupakan pengingat bahwa TNI lahir dari rakyat dan berjuang untuk rakyat," ujarnya.
Visi TNI yang mengusung jargon PRIMA (Profesional, Responsif, Integratif, Modern, Adaptif) dinilai sebagai kelanjutan dari identitas historis TNI sejak 1945.
"Watak integratif TNI terbukti dalam menjaga keutuhan NKRI. Kini, dengan tantangan global seperti perang siber dan geopolitik Indo-Pasifik, TNI harus makin modern dan adaptif," tambahnya.
Ia menegaskan, pemahaman sejarah TNI akan menumbuhkan kesadaran generasi muda bahwa mereka adalah penerus perjuangan bangsa.
"Mereka punya tanggung jawab melanjutkan cita-cita menjaga kedaulatan, persatuan, dan martabat Indonesia," pungkasnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI