Tulisan ini sebenarnya tersentil dengan tulisan kompasianer Galaxy 2014 di http://politik.kompasiana.com/2013/11/13/dibanding-dahlan-iskan-sebenarnya-lebih-baik-arb-610238.html
Di tulisannya dia membandingkan antara DI dengan Jokowi dan bahkan ARB, sepertinya sebagai Jokowi lovers, agak susah baginya untuk menerima bahwa DI sebanding atau bahkan lebih baik dari Jokowi. bahkan dengan menggunakan senjata pamungkas : INEFISIENSI PLN 2009-2010 :D
Disini saya cuma sedikit meluruskan pemberitaan yang selalu dijadikan alat argumentasi oleh para pesaing ataupun para pensboy-nya untuk menjatuhkan Dahlan Iskan.
Pertama, Inefisiensi PLN terjadi ditahun 2009 dan 2010. Ditahun 2009 terjadi inefisiensi sekitar sebesar Rp17,9 triliun dan Rp19,6 triliun pada 2010.
Kedua, Dahlan Iskan baru menjabat Dirut PLN pada tanggal 23 Desember 2009.
Dari kedua fakta diatas, pantaskah Dirut yang baru menjabat seminggu sudah harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditanggung selama 358 hari sebelumnya? enak banget dirut sebelumnya? dan ketika Dahlan dipanggil DPR, kenapa Fahmi Mochtar tidak juga dipanggil untuk mempertanggungjawabnya inefisiensi dimasanya? kalopun pantas disebut Inefisiensi, maka inefisiensi PLN yang menjadi tanggungjawab Dahlan hanya "sebesar" Rp19,6 triliun, bukan 36 T.
Ketiga, Pada Maret 2010 terjadi pemotongan alokasi gas dari PGN yang ujung-ujungnya jatah gas untuk PLN muara tawar yang terkena pemotongan, hal ini sudah diketahui dan disetujui oleh anggota DPR yang terhormat. Karena dalam rapat kerja DPR pada Maret 2010 yang dihadiri menko perekonomian dan sejumlah menteri, BP Migas, dan Pertamina disepakati pengurangan volume gas hanya diberlakukan kepada PLN Muara Tawar. Dan jumlah pengurangannya adalah 50 MMSCFD, bukan angka yang sedikit karena bahan bakar penggantinya adalah BBM hingga 48 ribu kiloliter sebulan.
Dari poin ketiga, kenapa anggota DPR jadi pikun padahal cuma berbeda 2-3 tahun saja? kenapa ketika tahun 2010 mereka sepakat dengan para menteri, tahun 2013 mereka sudah lupa dengan kesepakatan itu? Berapa trilyun pengeluaran tambahan atas penguranngan jatah 50Â MMSCFD sampai dengan jatah tersebut dikembalikan ke PLN?
Keempat, BPK pada saat melakukan audit, hanya menyimpulkan bahwa PLN kehilangan kesempatan untuk berhemat akibat PLN gagal memperoleh pasokan bahan bakar murah yakni gas untuk pembangkit listriknya dan juga terkait gagalnya pembangunan pembangkit listrik baru berbahan bakar gas
Dari poin keempat, jelas BPK tidak menyebutkan kerugian negara seperti yang dituduhkan banyak pihak. Hilangnya kesempatan tidak menyebabkan kerugian, karena sebelumnya sudah ada dana subsidi yang diterima. Dengan kata lain, PLN kehilangan kesempatan untuk menghemat subsidi. Bukan merugi yang menyebabkan peningkatan pengeluaran.
Gagalnya memperoleh pasokan bahan bakar murah sudah dijelaskan dipoin ketiga. Dan yang terakhir, gagalnya pembangunan pembangkit listrik baru. Kegagalan ini bukan sepenuhnya kesalahan dahlan. Pembangunan pembangkit di era Dahlan adalah warisan "gagal" masa lalu akibat pemilihan kontraktor china. Â Ga ada yang namanya membangun pembangkit listrik hanya dalam waktu 2 tahun, kecuali sewa genset!!!