Mohon tunggu...
Drajat Teguh Jatmiko
Drajat Teguh Jatmiko Mohon Tunggu... -

Setidaknya, tulisan bisa sedikit mengharumkan namaku yang amis. ^_^\r\nFacebook: https://www.facebook.com/profile.php?id=100000413714348

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Goban

14 Mei 2012   15:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:18 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Barangkali kerna banyak pikiran yang mengganjal—dalam otaknya, Goban menjadi begitu pemarah dan mudah disulut oleh omongan-omongan orang. Juga hasutan dari teman-temannya yang memang suka mengomporinya.
Sore itu, tepatnya di warung kopi jalan Mantraman, dia bersama teman-temannya mendiskusikan perihal buku-buku, novel, jurnal, antologi cerpen, puisi dan lain sebagainya.—maklum saja, dia merupakan orang yang cukup dipandang oleh teman-temannya untuk sekedar berdiskusi perihal karya-karya para pendahulunya.
Sore itu langit begitu cerah, semburat senjapun mengisyaratkan ketentraman yang teramat sangat. Namun, senja tetaplah senja, dan Goban tetaplah Goban yang mudah disulut api emosinya.

***

Pernah suatu saat, pada mata kuliah kajian karya, yaitu menganalisis sebuah karya dari seseorang,—dia menuduh Pak Dosen; yang sengaja menutup-tutupi suatu kebenaran, menutupi sebuah pesan semantik (tanda-tanda) dari karya seseorang itu demi kepentingan Pak Dosen yang katanya tak bisa menjelaskan apa yang ada dalam sebuah cerita tersebut, dia menuduh bahwasanya Pak Dosen terlalu gegabah memutuskan gagasannya perihal karya tersebut, dan dia menuduh Pak Dosen tak bisa menjelaskan gagasannya secara lebih rinci.—memang benar, dan tak diragukan lagi. Goban yang sering membaca karya-karya orang, yang juga sering melakukan diskusi-diskusi, dimana saja tempatnya. Bisa saja mengalahkan Pak Dosen dalam adu bicara. Ya, Goban tetaplah Goban. Dia telah kena hasut temannya untuk terus menanggapi Pak Dosen.
Seorang temanpun tersenyum, menahan tawanya kerna Goban telah kena hasutannya. Matanya menyala-nyala, hatinya berdebar-debar dan suaranya menggelegar; menyuarakan semua pendapatnya. Dan Pak Dosen pun kewalahan, menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Goban. Goban pun merasa puas telah mengalahkan Pak Dosen yang telah bingung menjawab pertanyaan-pertanyaan darinya.

Hingga sampai; pada pengumuman hasil Ujian Akhir Semester, dia tak lulus uji dimata kuliah tersebut. Goban tetaplah Goban, mudah saja dihasut. Dia pun beranjak dari kursinya mendatangi Pak Dosen yang sedang duduk di kursi kantornya, masih ada Dosen-dosen lain di ruang tersebut—ada seorang mahasiswa yang sedang berkonsultasi tentang skripsinya, ada juga mahasiswa baru, yang menanyakan perihal jadwal mata kuliah yang tak kunjung diperbaharui kerna jadwalnya masih rancu. Juga sesama Dosen yang sedang mengobrol santai, ada juga Dosen yang sedang asyik membaca koran dan ada juga yang cengar-cengir dengan laptopnya. Beraneka ragam watak dan pribadinya berpadu dalam satu ruangan: ruang Dosen.

Namun, Goban tetaplah Goban, mudah saja dihasut. Dia masuk ke dalam ruang kantor tersebut, langsung menuju di kursi Pak Dosen dan angkat bicara.

“Pak, bagaimana dengan nilai saya? Kok saya dapat nilai D, padahal saya kan masuk terus di-jam mata kuliah, Bapak? Saya juga rajin mengerjakan tugas yang bapak berikan pada saya? Kenapa nilai saya D, Pak?”

“Mungkin bisa kita bicarakan diluar, Nak” kata Pak Dosen dengan halus.

“Ah, saya tidak terima, Pak?!! Apa saya bodoh? Apa tugas-tugas yang saya kumpulkan salah? Atau apa, Pak? Semua kan harus ada alasannya, Pak?!!”
Goban tetaplah Goban, mudah saja kena hasut. Dia terus saja bertanya ngalor-ngidul kepada Pak Dosen. Tentusaja, masih perihal nilai yang diberikan Pak Dosen padanya, dan tentusaja Pak Dosen mempunyai alasan memberikan nilai tersebut padanya.

Goban sebenarnya anak yang pintar dan cerdas, dia kritis dengan setiap permasalahan yang ada. Mulai dari berita—perihal: HAM, kasus korupsi, hingga Presiden yang meminta kenaikan gaji, atau bahkan isyu kenaikkan harga BBM yang akan naik. Bahkan, dia sempat mengikuti aksi demo di Bundaran Universitas ternama di kota kami. Dengan semangat dia menyuarakan keluh-kesahnya pada pemerintah. Namun, Goban tetaplah Goban, mudah saja kena hasut.

***

Sore itu dia bertemu dengan seorang penulis tua. Dia banyak berbincang tentang penulis-penulis yang ada di Negara kami—yang katanya kurang dihargai karya-karyanya, dan tak dianggap keberadaannya. Padahal karya mereka adalah hasil pikiran jernih para penulisnya, kejujuran batin yang mendalam tanpa adanya jaring yang menghalangi jalan masuk menuju batinnya—batin seorang penulis. Tapi, penulis tetaplah penulis sebegitu bisanya membuka sebuah kebenaran. Namun, dia tak membuka dengan seutuhnya, karyanya harus ditafsirkan sedemikian rupa, gaya bahasa juga sistem pertandanya pun harus kita pahami dengan seksama sebelum memperoleh gagasan murni tentangnya.
dan begitulah Goban, mudah saja terpancing emosinya mendengar perkataan dari si penulis tua yang menceritakan tentang kisah hidupnya juga sesamanya—sesama penulis di Negara kami.
Si penulis tua itu berkata; bahwa di Negara kami banyak penulis yang diciduk karena karyanya sendiri. Karya yang bisa mengurungnya dalam sangkar besi raksasa. Atau bahkan yang lebih parah, bisa saja diumpankan pada ganasnya tanah yang menganga, hilang nama, bentuk juga raga.

“Bangsat sekali mereka, berani-beraninya menghalangi pemikiran-pemikiran jernih dan murni.” Goban berkata dengan lantangnya, matanya kembali menyala, hatinya berdebar-debar dan suaranya cukup menggelegar. Mungkin, dia tak sadar—bahwa disekitarnya ada banyak orang yang melihatnya.

Secangkir kopi telah diminumnya habis, sambil menyulut sebatang rokok kreteknya yang dilumuri dengan hitam pekatnya kopi.
Si penulis tua itu kembali bercerita, bahwasanya—dahulu para pendahulunya tak diterima oleh Negara kami; dia diacuhkan, bahkan dia dianggap sebagai pengacau, pembangkang juga penghianat bangsa kami. Dan Goban tetaplah Goban, mudah saja termakan omongan.
Si penulis tua itu lanjut bercerita—hidup dan mati seorang penulis itu ada dalam karyanya! Goban pun berangan-angan membayangkan apa yang diceritakan si penulis tua itu padanya.
dahulu orang yang dianggap pembangkang dan penghianat bangsa kami itu diasingkan, dan karya-karyanya dibakar, kerna dianggap bisa menjadi penghancur perkembangan Negara kami, saya pun bertanya pada si penulis tua.

“Apakah sebanding, karya yang hanya beberapa lembar bisa menjadi penghancur sebuah Negara?”.
Dia pun menjawab: “Ya begitulah adanya, karya itu memang sebanding dengan Negara yang didalamnya diisi oleh sebagian orang untuk urusan-urusan berpolitik.”


Namun, Goban tetaplah Goban. Nabsu emosinya semakin meledak-ledak mendengar pernyataan dari si penulis tua itu.
“Bangsat.. benar-benar bangsat mereka” suaranya benar-benar mengganggu telinga banyak orang disekitarnya, namun Goban tetap tidak sadar. Kerna asyik dengan dongengan si penulis tua tersebut.

“Bahkan saat ini setelah masa itu berlalu, banyak bukunya telah beredar di pasaran” lanjut si penulis tua. “Bukunya kini tak dilarang lagi, mungkin kerna jaman telah berubah, dan karya itu sudah tak dianggap membahayakan lagi, tak dianggap sebagai penghancur lagi. Namun, dahulu tetaplah dahulu. Dan kehidupan terus berlalu, dia telah mencicipi masanya di dalam sangkar besi raksasa.”

“Lalu bagaimana dengan bukunya yang sekarang berada di pasaran” saya benar-benar penasaran dan tertarik dengan cerita si penulis tua itu.

“Bukunya laris di pasaran, bahkan di halaman sampul belakang kini bertuliskan –Sumbangan ‘Negara untuk Dunia, padahal dahulu betapa dibenci dan dianggap sebagai penghianat penulis itu. Tapi kini dia begitu disanjung oleh Negara, dan karyanya cukup dibanggakan. Apakah pantas sampul belakang bertuliskan seperti itu?”

“Bangsat, agh..” Goban berteriak lantang, dan salah seorang pun menegurnya. Dia tetap dengan emosinya menatap orang itu.
“Tapi tunggu dulu, apa salah orang itu, Ban” katakupadanya.
lantas Goban pun meminta maaf atas sikapnya.

***

Satu hal yang tak pernah kusangka, ternyata penulis tua itu adalah Dosen kami yang siang tadi dibentak-bentak oleh Goban, Pak Dosen sengaja menyamar menjadi penulis tua agar bisa memberi penjelasan pada Goban—yang katanya -Pak Dosen tak bisa menerangkan dan terlalu gegabah atas gagasannya-, dan yang paling tak kusangka lagi; ternyata karya yang kami diskusikan di kelas itu adalah karya dari Pak Dosen.
Sejak saat itu Goban benar-benar malu dan mengakui kesalahannya, kini dia berpikir dua kali agar tak mudah kena hasut.

Prambanan, 14 Mei 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun