Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mendidik Panca Indra

22 Januari 2021   00:28 Diperbarui: 27 Januari 2021   07:40 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SUMBER GAMBAR: tangkapan layar dari youtube/televisi pendidikan

Pada ranah pendidikan formal, dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia,  karya puisi kerap kali menjadi muatan pelajaran  menarik bagi siswa-siswa. Puisi begitu lembut, karena tidak seperti matematika, yang tidak menyediakan ruang untuk segala bentuk kemungkinan makna. Puisi mampu masuk ke dalam ranah logika, estetika dan etika sekaligus. Untuk itu, begitu asyik apabila menikmati puisi dalam ketiga unsur tadi. 

Kalau tidak salah, penyair  Sapardi Djoko Damono  pernah menyampaikan bahwa sastra bukanlah mata pelajaran atau fakultas. Lebih dari itu, sastra adalah seni berbahasa, semacam taktik menyampaikan pesan. Menariknya  lagi, pesan dalam karya itu sendiri dapat begitu elastis. Hal ini dikuatkan dengan banyak pemikiran para ahli sastra   seperti tentang interpretasi, semiotik, reseptif, konotasi, dan lain sebagainya.

Maka, bolehlah sesekali kita iseng-iseng mengapresiasikan karya sastra dengan menikmati makna pesan, yang liar, muncul bergitu saja di benak kita. Pada kesempatan ini saya akan mulai dengan karya sastra lama, yaitu Gurindam 12 pasal 3 karya Raja Ali Haji. Terkesan usang memang, tapi sepertinya "makna" tidak akan pernah usang dalam zaman yang masih kurang lebih sama.  Zaman yang sama-sama didominasi oleh manusia.

Raja Ali Aji .Gurindam 12 Nomor Tiga.

Apabila terpelihara mata,
Sedikitlah cita-cita.
Apabila terpelihara kuping,
Khabar yang jahat tiadaiah damping.
Apabila terpelihara lidah,
Niscaya dapat daripadanya paedah.
 

Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan,
Daripada segala berat dan ringan.

Apabila perut terlalu penuh,
Keluarlah fi'il yang tiada senonoh.
Anggota tengah hendaklah ingat,
Di situlah banyak orang yang hilang semangat
Hendaklah peliharakan kaki,
Daripada berjalan yang membawa rugi.

(Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/gurindam-dua-belas/)

Puncak kehebatan peran manusia sering kali diyakini sebagai pemimpin dunia. Pada umumnya, kita menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang berhak mengelola, memelihara, dan memimpin kehidupan di bumi ini ketimbang hewan, tumbuhan, dan lain-lain. Kendati demikian, jauh sebelum kita menjadi pemimpin pihak lain, rupanya apa yang ada pada diri kita juga perlu kuasa kuat dalam arti "dimpimpin" sebagaimana yang dapat kita maknai dari gurindam 12 nomor 3 ini.

Syair gurindam 12 nomor 3 dari Raja Ali Aji mengingatkan kembali tentang tiga hal yang perlu dilatih terlebih dahulu sebelum kita memimpin yang di luar diri kita. Raja Ali Aji menyebutkan  "mata, kuping, dan lidah". Tiga indra tersebut dapat dikatakan sebagai  pokok penggerak dari aktivitas kognitif manusia yakni  membaca, menyimak atau memahami, dan berbicara. Boleh jadi ini dapat kita jadika formula untuk mendidikan anak atau siswa.

Mata

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun