Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sudah Kaya tapi Masih Korupsi

19 Maret 2017   15:21 Diperbarui: 19 Maret 2017   15:32 1807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Korupsi pejabat tinggi negara masih menjadi salah satu benang kusut negeri ini. Begitu kusutnya, hingga kita tidak bisa mengerti mengapa perbuatan yang sama terus terjadi dan muncul dari para elit pemerintahan. Sedihnya, yang melakukan korupsi ini adalah orang-orang kaya. Secara ekonomi, mereka sudah punya segalanya. Gaji sudah tinggi. Fasilitas disiapkan oleh negara. Mau ke sana atau ke situ, anggaran negara siap dikorbankan.

Tetapi, mengapa mereka masih korupsi? Toh, pada akhirnya, saat kita menghadapi ajal, kita tidak bisa membawa apa yang kita kumpulkan dan yang kita curi. Paling-paling itu ditinggalkan buat keluarga kita di rumah. Efeknya mungkin paling-paling, keluarga kita mengingat nama kita, tetapi rakyat hanya mengenang kita sebagai seorang koruptor alias pencuri uang negara.

Sekarang, tanah air dihadapkan dengan kasus korupsi E-KTP. Tidak tanggung-tanggung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencantumkan nama-nama penting. Beberapa nama lain yang beredar di media juga membuat kita terkejut. Hanya satu komentar yang muncul, “sudah kaya, koq mereka berani korupsi?”

Sebenarnya, apa sih yang dicari dari korupsi bagi orang-orang ini? Hanya mereka yang melakukan korupsi yang bisa menjawab. Namun sebagai penonton, kita boleh berkomentar dan kita mesti belajar untuk tidak mengikuti jejak mereka. Terserah apa kata kaum koruptor tentang komentar-komentar rakyat karena rakyat berhak untuk berkomentar. Bukan saja, alasan mereka mencuri uang rakyat, tetapi karena mereka adalah amanah rakyat. Kalau memang para koruptor negara ini peka, yah pasti mereka bisa menyesali perbuatan dan mengembalikan apa yang bukan haknya.  

Untuk konteks orang kaya, alasan korupsi sangat sulit untuk diterka. Saya belum pernah dengar dan baca dalil korupsi dari orang kaya karena ada anggota keluarga yang sakit di rumah, biaya pendidikan anak, biaya rumah tangga dan lain sebagainya. Secara umum, tidak yang memberikan alasan yang jelas. Yang ada malah pembelaan diri atas kasus yang terjadi.

Di balik pencarian untuk mengetahui dalil melakukan korupsi, saya hanya sampai pada sikap dasar manusia yakni “tidak pernah puas.” Kasarnya mungkin “mentalitas rakus.” Memang secara manusiawi, kita adalah makhluk yang tidak cepat puas dan tidak akan pernah puas dengan apa yang kita miliki.

Contohnya, saat kita mempunyai sebuah ponsel baru. Namun saat kita mengetahui kalau ada ponsel keluaran terbaru yang lebih menarik dari ponsel kita, naluri manusia kita pun muncul. Kita pun ingin mempunyai ponsel itu dan meninggalkan yang satunya. Kalau ini tidak dikontrol, kita cenderung untuk mendapatkan sesuatu hanya untuk memuaskan hasrat kita. Bila hasrat itu sudah terpuaskan, kita diarahkan untuk mencari kepuasan lain.

Hanya ada solusi dari sekian banya cara untuk mengatasi ini. Salah satunya, kita mengontrol hasrat kita ini dengan menganggap sesuatu berdasar pada fungsi dan perannya untuk kita. Ponsel tidak dilihat sebagai barang yang memuaskan hasrat kita. Namun lebih dari itu, kita menganggap ponsel dari segi fungsinya semata. Kita puas saat fungsi ponsel itu sebagai alat komunikasi yang menunjang kegiatan harian kita. Bukan melihat ponsel sebagai pembentukan identitas diri. Dalam arti, kita tidak melihat kepunyaan ponsel mahal sebagai indikasi status yang kita miliki.

Kita kembali ke kasus korupsi. Koruptor juga terjebak pada hasrat yang tak terkontrol. Jumlah uang di rekening bank, kekayaan di rumah, jaminan dari negara dan properti yang mereka miliki tidak cukup memuaskan seorang koruptor. Ini terjadi mungkin karena tidak ada kontrol dari keinginan diri. Yang terjadi,semakin banyak kekayaan yang dikumpulkan, saat itu kita merasa puas. Namun sebenarnya kepuasan ini hanya sementara. Akibatnya, mengumpulkan harta dengan mengambil sesuatu yang bukan milik sendiri, termasuk dengan melakukan korupsi.

Karena itu kita menilai harta atau uang sebagai sesuatu yang menunjang hidup kita. Kita menilai fungsi dan kegunaan dari harta kita. Harta yang kita memiliki hanyalah penunjang kemanusiaan. Kita mempunyai uang dan kita mensyukurinya karena mereka menunjang hidup harian kita. Mereka bukanlah sesuatu yang bisa memberikan kepuasaan absolut. Toh, apa yang kita miliki tidak bisa mencegah kita menuju umur tua, dan juga mencegah ajal kita. Karena ini untuk konteks pejabat negeri ini, sudah menjadi rahasia umum kalau mereka selalu berkecukupan. Apa salahnya merasa pusa dengan apa yang mereka sudah miliki.

Namun kadang kala kita bingung dengan kasus korupsi di tanah air. Para pelakunya kelihatannya berbobot di mata masyarakat. Kalau kita lihat dari aspek pendidikan, sangat sulit untuk dijelaskan. Kita lihat kaum koruptor itu. Mereka umumnya mengenyam pendidikan tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun