Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dampak Bersekolah Mencari Ijazah

17 Maret 2017   07:08 Diperbarui: 17 Maret 2017   07:28 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bersekolah untuk mendapatkan ijazah mungkin menjadi pola pikir dan motif yang masih ada di benak sebagian orang. Jika ijazah sudah ada di tangan, proses pendidikan juga ikut selesai. Konsep seperti ini menghadirkan dampak yang bermacam-macam. Dampaknya berupa niat untuk mencari ilmu dan memperluas apa yang telah dipelajari di bangku sekolah ikut berhenti. Muncul sikap yang cenderung merasa sudah puas dengan apa yang sudah pernah dialami dan dipelajari di bangku sekolah. Lalu, merasa bangga dengan nilai bagus dan rangking tinggi yang diperoleh di sekolah hingga berujung pada keengganan untuk mulai bekerja dan berusaha mulai dari level yang terendah.

Ijazah sebenarnya hanya standar formatif dari proses pendidikan formil di sekolah. Ini tidak menjadi satu-satunya standar yang menentukan kualitas seseorang setelah menamatkan tingkat pendidikan tertentu. Buktinya, ada orang yang tidak menyelesaikan bangku sekolah alias tidak berijazah mampu berkompetesi di dunia kerja dan memberikan yang terbaik untuk diri sendiri dan orang lain.

Ijazah juga tidak bisa mengukur kualitas moral seseorang. Kita lihat di sekitar kita. Ada orang yang bergelar dengan tingkat pendidikan tertentu tetapi melakukan penyelewengan di kehidupan sosial. Mungkin contoh yang jelas adalah para koruptor di negara ini. Pada umumnya, mereka merengkuh pendidikan tinggi dan bahkan bergelar doktor. Selain itu, banyak yang berijazah yang tidak tahu bagaimana mencari dan menciptakan pekerjaan sendiri. Ujung-ujungnya, adu keberuntungan dengan mengikuti tes PNS atau menjadi tenaga honerer di kantor-kantor pemerintahan.

Tulisan ini bukan mau mendiskreditkan ijazah sebagai bukti lulus dari bangku pendidikan. Tetapi ini berusaha membuka mata untuk melihat bahwa pendidikan itu melebih secarik kertas. Secara obyektif, proses pendidikan berlangsung selama kita hidup. Dalam arti, kita berhenti belajar pada waktu tertentu dan di tempat tertentu saja, tetapi pendidikan itu berlangsung di mana saja dan kapan saja.

Pendidikan itu tidak hanya di ruang kelas. Di rumah kita bisa belajar dari orang tua. Dengan teman-teman, kita belajar dari kelebihan dan kekurangan mereka. Di tempat kerja kita belajar dari rekan sejawat. Di jalanan kita belajar dari diri sendiri untuk bersabar menghadapi situasi tertentu. Singkatnya, di mana saja kita berada kita sebenarnya mengikuti pendidikan tertentu. Ijazahnya pun bukan berupa sepotong kertas, tetapi itu bisa berupa kualitas atau kebajikan tertentu sebagai seorang pribadi yang belajar lewat pengalaman hidup.

Sering kita masuk ke dalam pemahaman yang salah. Kita mungkin berpikir saat kita sudah berada di jabatan tinggi dengan prestasi yang banyak, kita beranggapan bahwa pendidikan formal kita sudah berhasil. Tetapi itu belum bisa memastikan kalau pendidikan formal sudah berhasil 100 persen. Karena itu, kita hendaknya bisa mengukur sejauh mana jabatan dan prestasi itu bernilai bukan hanya bagi diri sendiri tetapi juga buat kemashalatan orang lain. Pada titik ini, menilai keberhasilan proses pendidikan adalah sesuatu yang kompleks. Bukan saja dinilai seberapa banyak ijazah yang dikumpulkan dan jabatan yang direngkuh, tetapi ini soal manfaat dari ilmu dan kemampuan yang dipelajari di sekolah bagi kesejahteraan orang lain. Yang dibutuhkan adalah pribadi yang terbentuk dari proses pendidikan.

Karenanya, persoalan tahunan yang selalu dialami adalah kehadiran ijazah-ijazah baru tanpa tahu bagaimana dan kemana ijazah-ijazah itu digunakan. Banyak orang yang menyelesaikan pendidikan tinggi dan secara kuantitas pencapaian ini sangat menjanjikan. Namun di lain pihak, ini juga mengingatkan kita tentang kehadiran dari pengangguran yang berijazah. Orang mempunyai ijazah tetapi ijazah itu tidak memaksimalkan potensi untuk mencari alternatif dalam menemukan lapangan pekerjaan. Tak elak, kondisi seperti ini dampak karena pola pikir yang melihat bersekolah untuk mendapatkan ijazah.

Sebaliknya, kalau proses pendidikan yang dijalani sebagai mediatur mini kehidupan, pastinya kita siap menghadapi realitas dan tantangan sosial yang lebih luas. Selama di bangku sekolah, kita belajar dan mencari ilmu bukan karena tuntutan ijazah dan nilai tertentu. Kita bersekolah karena dorongan manusiawi yakni rasa ingin tahu. Kita belajar karena kita mau belajar dan mengetahui sesuatu. Dengan itu, kita bisa menggunakan ilmu kita untuk konteks tertentu. Pada titik ini, kita berada di sekolah bukan karena ijazah, tetapi karena kita haus dan mempunyai hasrat untuk berilmu. Di sekolah, kita mengembangkan diri. Kita mencari ilmu dan memperkaya diri dengan skilltertentu. Dan apa yang kita peroleh itulah yang menjadi bekal untuk masa setelah sekolah. Bukan sebaliknya, ijazah adalah tujuan utama dan akhir dari sekolah dan di lingkungan sosial kita seolah menjadi seorang pribadi yang tidak berilmu.

Tentunya, kita tidak mau menjadi pengangguran berijazah. Tetapi kita mau menjadi orang berpendidikan. Tanpa ijazah atau dengan ijazah, kita menjadi orang berpendidikan entah lewat tingkah laku maupun lewat pengetahuan kita. Inilah tantangan bagi kita. Kita memaknai proses belajar di sekolah bukan untuk ijazah tetapi untuk perkembangan diri. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun