Yang menarik dari pastur ini adalah dalam pengajarannya, dia sangat mengapresiasi agama Islam. Dia mengajar dengan baik praktik dan nilai-nilai yang terkandung dalam agama Islam.Â
Pada titik ini, saya melihat bahwa berkat pengetahuan dan pemahamannya, dia bisa mengapresiasi dan menghargai perbedaan yang dimiliki oleh agama lain dan bahkan bisa menjelaskannya dengan baik. Padahal, dia adalah seorang pastur Katolik.Â
Belajar pada perbedaan orang lain bukan bertujuan untuk mencari kelemahan, tetapi berupaya untuk melihat nilai-nilai baik yang terkandung di dalamnnya.Â
Langkah lebih jauh untuk memupuk toleransi adalah mempraktikannya dalam kehidupan nyata. Apabila kita sudah mempunyai konsep penerimaan dan pengetahuan yang memadai tentang perbedaan, kita pun perlu mewujudnyatakannya dalam kehidupan sehari-hari.Â
Pastinya, kita tinggal dan berada dengan orang-orang yang berbeda dari kita. Di tengah konteks seperti itu, kita sekiranya tahu cara untuk menghidupkan dan melakukan sikap toleran tersebut.Â
Misalnya, di masa puasa saat ini. Tiap agama memiliki praktik berpuasa yang berbeda-beda.Â
Kebetulan, agama Katolik juga masih sementara berada dalam masa puasa. Penganut Agama Islama pun baru masuk dalam masa puasa.Â
Satu situasi yang persis sama, namun praktik dari berpuasa dua agama itu sangat berbeda-beda. Daripada kita membuat perbandingan, lebih baik kita saling menghargai praktik kita masing-masing.
Hal itu menyata saat kita melihat tetangga, teman, atau bahkan anggota keluarga kita yang berpuasa.Â
Misalnya, teman kita menganut agama Islam. Ketika dia berpuasa, lebih baik kita menjauhi segala sesuatu yang bisa menjebaknya pada godaan. Bahkan, kita mencari tempat khusus untuk makan dan tak mengganggu teman yang lagi berpuasa.Â
Juga, kita yang mungkin dari agama lain, tak perlu melakukan perbandingan antara puasa yang dijalankan oleh teman kita itu dengan apa yang kita jalani. Apalagi membuat kelakar dan mengejek seseorang yang sementara berpuasa.Â