Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Pilkada 2020 dan Pilihan yang Bebas dari Motif Keluarga

5 Desember 2020   07:14 Diperbarui: 7 Desember 2020   10:07 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: www.shutterstock.com)

Keluarga menjadi salah satu elemen penting dalam dunia politik termasuk dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Keluarga itu bisa berupa keluarga dalam tataran sempit maupun juga dalam tataran luas.

Dalam tataran sempit, keberadaan keluarga pada dunia politik itu bisa nampak lewat keterlibatan orangtua, anak, saudara, dan anak mantu dalam kontestasi politik. 

Kerap kali terjadi jika dalam satu keluarga bahu membahu untuk mengolkan salah satu atau pun dua anggota keluarganya pada posisi tertentu. Bahkan ini juga menjadi cara untuk menguatkan posisi dan kepentingan keluarga itu lewat dan di dunia politik.

Dalam tataran keluarga yang lebih luas, relasi keluarga itu bisa didasarkan pada suku, budaya, dan asal kampung. Untuk konteks wilayah tertentu, relasi kekeluargaan itu bisa dirunut lewat nama, ikatan suku, dan asal kampung yang melekat pada calon politik.

Misalnya, pada saat nama mempunyai kesamaan dengan suku tertentu, pada saat itu pula calon politik bisa memanfaatkan momen untuk menggaet mereka yang bermarga keluarga sama.

Karenanya, semakin luas pengetahuan seorang calon tentang relasi kekeluargaan dan kekerabatan, semakin besar pula peluang seorang calon itu memperoleh suara. 

Begitu pun sebaliknya, semakin seseorang lemah untuk merunut ikatan keluarga dan kerabat, peluang mendapat suara juga semakin kecil.

Tak heran, banyak orang yang memilih rekan politiknya yang berasal dari sebuah keluarga besar. Atau juga, dari sebuah keluarga yang mempunyai pengaruh pada tataran budaya dan wilayah tertentu. Mereka direkrut untuk bisa mendapatkan pengaruh dan suara massa.

Sumber foto: Kompas.com
Sumber foto: Kompas.com
Di pihak lain, cara ini tentu bukanlah gratis semata. Cara ini bisa juga menjadi kesempatan bagi keluarga tertentu untuk menagih kepentingannya. Dalam mana, dia bisa memanfaatkan momentum tersebut untuk bisa mendapatkan kepentingan yang bisa menguntungkan keluarganya.

Misalnya, untuk konteks keluarga yang lebih sempit. Hal itu menjadi kesempatan agar kelak anggota keluarganya bisa mendapatkan jabatan di institusi tertentu dan juga kemudahan-kemudahan lain lewat dunia politik.

Pada konteks keluarga yang lebih luas, jaminan keterpilihan seorang calon bisa dibarengi oleh keinginan dari keluarga besar itu agar calon itu bisa mendirikan rumah adat atau membangun jalan ke kampung mereka bila kelak terpilih. Pendeknya, momen itu bisa dimanfaatkan oleh sebuah keluarga untuk mendapatkan kepentingan tertentu untuk konteks keluarga besar mereka.

Pada situasi ini, relasi cenderung timbal balik. Saling menguntungkan. Yang menjadi calon politik mendapat pasokan suara, sementara keluarga tertentu bisa mendapatkan kepentingan tertentu.

Pertanyaannya, mampukah momen Pilkada pada Desember ini menjadi momen untuk membebaskan diri dari motif keluarga?

Rasanya barangkali masih jauh dari ideal. Tak sedikit yang masih berjuang demi kepentingan keluarga atau pun mewakili keluarga tertentu. Butuh pendidikan politik yang kuat agar motif keluarga bukanlah menjadi motif mendasar di balik kontestasi pilkada.

Pada pihak lain, hal ini sebenarnya bergantung pada pemilih sendiri. Dalam mana, pemilih sekiranya membebaskan diri dari memilih demi motif keluarga mereka. Mereka seyogianya memilih karena melihat kualitas yang dipunyai seorang calon tertentu.

Bahkan menjadi menarik apabila di dalam keluarga ada perbedaan politik. Perbedaan politik ini tidak boleh dinilai sebagai ancaman bagi keluarga. Malahan, ini bisa menjadi bahan untuk membangun pendidikan politik. Dalam mana, perbedaan bisa mengasah kemampuan setiap pemilih untuk mencerna dan mengritisi setiap calon politik yang diusung.

Dengan pola pikir seperti ini, seorang pemimpin yang terlahir pun betul-betul merupakan hasil pemikiran yang jernih. Tak terikat pada motif keluarga dan tak terpaku pada kepentingan tertentu. Dia terpilih karena masyarakat melihat kapasitasnya untuk memimpin.

Namun, saat seseorang hanya memilih karena motif keluarga, bukan saja kualitas yang ikut dipersoalkan. Juga, ini bisa menjadi benih-benih konflik antara keluarga. 

Harapannya, Pilkada di bulan Desember ini menjadi momentum untuk mencari dan memilih pemimpin yang tepat. Bukan memilih pemimpin untuk kepentingan keluarga. Salah satunya adalah dengan cara membebaskan diri dari memilih pemimpin karena faktor keluarga semata. Namun, memilih pemimpin karena kita tahu dan sadar akan kemampuannya dalam memimpin.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun