Pertanyaannya, mampukah momen Pilkada pada Desember ini menjadi momen untuk membebaskan diri dari motif keluarga?
Rasanya barangkali masih jauh dari ideal. Tak sedikit yang masih berjuang demi kepentingan keluarga atau pun mewakili keluarga tertentu. Butuh pendidikan politik yang kuat agar motif keluarga bukanlah menjadi motif mendasar di balik kontestasi pilkada.
Pada pihak lain, hal ini sebenarnya bergantung pada pemilih sendiri. Dalam mana, pemilih sekiranya membebaskan diri dari memilih demi motif keluarga mereka. Mereka seyogianya memilih karena melihat kualitas yang dipunyai seorang calon tertentu.
Bahkan menjadi menarik apabila di dalam keluarga ada perbedaan politik. Perbedaan politik ini tidak boleh dinilai sebagai ancaman bagi keluarga. Malahan, ini bisa menjadi bahan untuk membangun pendidikan politik. Dalam mana, perbedaan bisa mengasah kemampuan setiap pemilih untuk mencerna dan mengritisi setiap calon politik yang diusung.
Dengan pola pikir seperti ini, seorang pemimpin yang terlahir pun betul-betul merupakan hasil pemikiran yang jernih. Tak terikat pada motif keluarga dan tak terpaku pada kepentingan tertentu. Dia terpilih karena masyarakat melihat kapasitasnya untuk memimpin.
Namun, saat seseorang hanya memilih karena motif keluarga, bukan saja kualitas yang ikut dipersoalkan. Juga, ini bisa menjadi benih-benih konflik antara keluarga.Â
Harapannya, Pilkada di bulan Desember ini menjadi momentum untuk mencari dan memilih pemimpin yang tepat. Bukan memilih pemimpin untuk kepentingan keluarga. Salah satunya adalah dengan cara membebaskan diri dari memilih pemimpin karena faktor keluarga semata. Namun, memilih pemimpin karena kita tahu dan sadar akan kemampuannya dalam memimpin.
Salam