Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Risiko Ketika Hamil Jadi Alasan untuk Menikah Muda

9 November 2020   20:02 Diperbarui: 10 November 2020   12:17 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay. com

Keduanya masih berusia 20 tahun. Mereka masih berada di tingkat dua college atau sederajat dengan tingkat 2 pada bangku kuliah di salah satu college di Filipina. Mereka mau menikah seturut agama Katolik. Padahal, usia pacaran mereka belum setahun. 

Menikah secara agama Katolik harus berhadapan dengan pelbagai konsekuensi. Proses percaraian tidak segampang dengan proses sewaktu menikah. 

Sebut saja nama dari si laki-laki, Prim dan si perempuan, Nia. Seturut kebiasaan, laki-laki harus menikah di tempat asal perempuan. Namun, untuk urusan resepsi menjadi tanggung jawab bersama. Menariknya, tidak ada beban mahar yang dilimpahkan kepada laki-laki atau pun perempuan. Biaya pernikahan umumnya ditanggung bersama.   

Wajah mereka terlihat masih lugu. Belum lepas dari bayang-bayang usia masa remaja. Bahkan penampilan mereka juga terlihat jauh dari kesan kedua insan yang siap menjadi orangtua untuk sebuah keluarga.

Prim terlihat percaya diri tetapi belum tentu membahasakan kesiapannya untuk menjadi suami dan sekaligus ayah. Sementara Nia harus memilih jalan menikah muda. Usia kandungannya sudah berjalan dua bulan.

Rencananya bulan Desember mereka akan menikah. Kandungan Nia belum terlalu besar. 

Pelbagai persiapan sudah dibuat. Urusan pernikahan di kantor catatan sipil sudah selesai. Dokumen di gereja sementara diproses. Nampaknya, orangtua perempuan juga tidak sabar melihat puteri mereka menikah sekaligus menantikan cucu pertama untuk keluarga.

Kabar tentang pernikahan dari keduanya sudah menyebar luas. Desa mereka terbilang kecil. Informasi seperti menikah gampang tersebar dari mulut ke mulut. Juga, pada seorang menikah, perayaan resepsi seolah menjadi perayaan dari orang-orang sedesa.  

Tak heran, walau keduanya masih berusia cukup muda, kedua orangtua mereka terlihat setuju saja. Usia 20 tahun memang sudah melewati batas yang ditetapkan pemerintah dan gereja. Sudah pas seturut umur untuk menikah. 

Namun, itu belum tentu bisa menjawabi kesediaan dan kemampuan mereka untuk bertanggung jawab. Keduanya masih bersekolah. Masa depan mereka masih panjang. Makanya, persoalan yang paling utama adalah apakah mereka bisa menghidupi tanggung jawab mereka dengan baik setelah menikah. 

Barangkali hamil menjadi alasan utama bagi keduanya untuk menikah. Orangtua perempuan tidak mau jika si laki-laki pergi begitu saja. Menikah pun menjadi salah satu cara agar dia menghilang dan lari tanggung jawab. 

Sementara itu, laki-laki mengiakan ikatan perkawinan karena mau menunjukkan tanggung jawabnya sebagai seorang laki-laki. Padahal, tanggung jawab itu tidak segampang yang dipikirkan. Pada saat dia menikah, dia pun harus tahu bahwa dia mesti berupaya untuk menafkahi istri dan anaknya. Tidak lagi bergantung semata-mata pada orangtua.

Akhir-akhir ini, Prim begitu setia mendampingi Nia. Bukan hanya urusan pernikahan, tetapi juga urusan sekolah.

Gara-gara pandemi korona, mereka harus belajar dari rumah. Sistem modul. Bahan pelajaran diambil di sekolah, dipelajari di rumah, dan kalau ada tugas, dikerjakan di rumah. Keuntungannya bagi Nia. Paling tidak, kehamilannya tidak mengganggu urusan sekolah.  

Setiap hari Senin, Prim pergi ke sekolah untuk mengambil modul. Pada Jumat Sore, Prim juga mengembalikan soal-soal yang sudah dijawab. Sementara itu, Nia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah keluarga. 

Barangkali Prim menunjukkan rasa tanggung jawabnya dari kesediaannya untuk mengambil dan mengantar module dari sekolah. Namun, itu tidak seberapa dari pelbagai tantangan yang akan mereka hadapi di saat sudah berkeluarga. Kendati demikian, tanggung jawab besar selalu bermula dari hal-hal kecil dan sederhana. 

Pada saat ini, Prim menunjukkan tanggung jawab untuk tetap membuat calon istrinya tetap belajar. Mumpung belum ada tatap muka. Kandungan calon istrinya belum terlalu besar. Kesempatan ini bisa dimanfaatkan untuk tetap belajar sembari menanti hari pernikahan dan kelahiran anak mereka.

Toh, kuliah tetap akan menjadi jaminan bagi masa depan mereka sebagai sebuah keluarga. Toh, mereka harus berdiri di atas kaki sendiri saat sudah berstatuskan sebagai ayah/suami dan ibu/istri. Tidak lagi bertumpuh pada keluarga. 

Kehamilan Nia selagi berada di bangku sekolah dan di usia 20 tahun barangkali memenjarakan keputusan Prim. Keluar dari situasi ini terlihat sulit. Lebih baik menikah daripada harus menerima tuntutan dari pihak perempuan. 

Akan tetapi, ini akan beresiko saat keputusan itu tidak terlahir pertimbangan yang sangat mendalam. Menikah adalah konsekuensi dari buah relasi mereka. Namun, itu bukan menjadi jawaban satu-satunya untuk mengakhiri persoalan.

Pasalnya, menikah bukanlah cara menjawabi persoalan kehamilan Nia. Tanggung jawab itu bisa diwujudnyatakan lebih kesediaan untuk selalu mendampingi si perempuan hingga keputusan untuk menikah sudah matang. Dengan ini kedua belah pihak bisa belajar dari pelbagai kemungkinan saat kelak mereka sudah resmi menikah.  

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun