Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dilema PJJ dan Benturan Subsidi Pulsa, Antara "ML" dan Belajar

19 Agustus 2020   19:05 Diperbarui: 19 Agustus 2020   19:03 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tanggal 24 Agustus, dinas pendidikan Fiipina mengijinjkan sekolah swasta untuk melakukan proses belajar mengajar. Sementara, sekolah-sekolah yang bernaung di bawah pemerintah akan memulai proses belajar mengajar pada 5 Oktober.

Di balik keputusan ini, para pelaku pendidikan harus melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Tidak diijinkan proses belajar mengajar secara tatap muka.

Metode Pjj itu beraneka macam. Yang lagi hangat dibicarakan di kalangan orangtua, guru, dan para siswa adalah sistem belajar online.

Sebagian besar menilai bahwa sistem belajar online masih terbilang baru. Mungkin ini dipandang solusi yang tepat oleh pemerintah di tengah pandemi korona, tetapi bukan solusi yang tepat sasar bagi para orangtua, siswa dan guru.

Seperti situasi di Indonesia, tidak semua orangtua, siswa dan barangkali guru yang melek dengan sistem belajar online. Alih-alih mau belajar lewat cara online, para pelaku pendidikan pertama-tama harus belajar bagaimana menggunakan dan memanfaatkan instrumen online untuk belajar. Jadinya, proses belajar online itu bisa tertatih-tatih hanya karena keterbatasan tertentu.

Selain itu, bukan rahasia lagi jika generasi masa kini begitu familiar dengan smartphone. Bahkan di dalam satu keluarga, setiap anggota keluarga mempunyai smartphone. Karena ini, anak menjadi akrab dengan pelbagai aplikasi di smartphone.


Kondisi ini memungkinkan mereka untuk bisa belajar online. Paling tidak, mereka sudah familiar dan terbiasa menggunakan smartphone. Daripada menggunakan smartphone demi kepentingan lain, mereka bisa diarahkan untuk menggunakannya demi kepentingan belajar.

Idealnya, barangkali seperti itu. Smartphone dimanfaatkan untuk kepentingan belajar dan kepentingan yang bermanfaat. Akan tetapi, tidak sedikit orangtua yang sangsi dengan hal seperti itu. Pasalnya, tidak sedikit anak yang menghabiskan banyak waktu dengan smartphone mereka hanya untuk bermain game.

Kemarin, saya bercerita dengan dua orang ibu. Tentang anak-anak yang biasa menghabiskan banyak waktu di salah satu gedung bertingkat tiga. Gedung ini sebenarnya tempat penyimpanan tangki air, tetapi di lantai dua dibiarkan kosong.

Letaknya di tempat ketinggian. Signal internet di lantai dua begitu kuat. Tidak heran, banyak anak yang berusia SMP yang menghabiskan waktu di tempat itu, baik siang maupun malam di tempat itu. Bahkan kadang kala terdengar teriakan mereka.

Lantas, saya bertanya kepada kedua ibu itu tentang apa yang mereka lakukan. Keduanya serentak menjawab jika mereka sedang bermain "ML." Mobile Legends, sebuah permainan yang diminati banyak anak saat ini.

Karena ini, tempat itu pun dikenal sebagai tempat "ML". Kalau tidak memahami istilah ini, bisa jadi langsung terperangkap pada pikiran negatif. Mungkin saja, orang hanya berpikir ML dengan istilah "Making Love." Padahal, itu berarti Mobile Legends, salah satu permainan yang diminati banyak anak saat ini.

ML menjadi kegemaran banyak anak mungkin karena cara bermainnya. Dua orang anak bisa bertanding pada satu permainan yang sama dengan menggunakan smartphone berbeda. Karena ini, tidak heran anak-anak begitu tertarik untuk menghabiskan banyak waktu bermain game ini. Terlebih lagi, jika mereka melakukan kompetesi.

Situasi ini menjadi tantangan dari seruan Pjj. Boleh jadi akan ada benturan antara ML dan belajar online. Saya kira tidak sedikit anak yang boleh jadi tertarik menghabiskan waktu untuk ML, tetapi akan cepat bosan belajar dengan sistem online. Terlebih lagi, jika metode pembelajaran lewat online tidak menarik dan menangkap antusiasme mereka untuk belajar.

Hal yang sama juga dengan wacana mensubsidi pulsa. Mensubsidi pulsa ke siswa cukup rumit. Tidak gampang untuk memantau apakah seorang siswa sungguh-sungguh memanfaatkan pulsa tersebut demi kepentingan belajar, ataukah menggunakan pulsa tersebut untuk kepentingan lain, seperti bermain ML.

Hemat saya, subsidi pulsa tidak serta merta memungkinkan Pjj berjalan sebagaimana mestinya. Yang paling utama adalah menyiapkan karakter anak/siswa sendiri. Dengan kata lain, apa pun medium pembelajaran baik itu di sekolah, di rumah maupun lewat Pjj, seorang anak tetap sadar tentang pentingnya belajar.

Inilah hal yang perlu dibangun. Pada titik ini, orangtua menjadi garda terdepan untuk meyakinkan anak. Apa pun media pembelajaran di masa pandemi, anak tahu dan sadar jika mereka mesti belajar. Bukannya, hanya fokus pada instrumen, tetapi tanpa dibarengi dengan pembentukan karakter setiap anak/siswa.

Paling pertama dan utama adalah membentuk karakter seorang anak yang berlaku sebagai siswa. Misalnya, seruan bahwa bermain ML selama seharian tidak baik untuk seorang siswa. Orangtua seharusnya berani untuk mengontrol pemakaian smartphone.

Bukannya orangtua membiarkan itu terjadi, tetapi saat pembelajaran jarak jauh ditetapkan orangtua menjadi kaku dan mengeluh dengan situasi yang terjadi. Terlebih lagi, jika orangtua mengeluh pada ketiadaan pulsa. Lantas, apa bedanya pulsa yang dipakai untuk ML dengan Pjj?

Pjj menjadi alternatif pemerintah untuk menanggapi situasi pandemi. Seyogianya, langkah pemerintah ini ditanggapi bersama, dan bukannya saling menyalahkan. Lebih jauh, Pjj merupakan tantangan yang bisa membuka mata tentang arah pendidikan di waktu yang akan datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun