Kosa kata perceraian adalah momok dalam relasi antara suami dan istri. Setiap orang pastinya ingin menghindari kosa kata ini dari sebuah relasi. Ini juga menjadi harapan banyak pihak dan elemen masyarakat.
Namun, fakta mengatakan jika perceraian itu masih saja sulit dihindari dari sebuah relasi. Terbukti, tidak sedikit pasangan yang memilih untuk berpisah sebagai suami-istri. Bercerai dan memilih jalan hidup masing-masing.
Dengan ini pula, tidak ada formulasi yang baku untuk menjauhkan pasangan dari kosa kata perceraian. Siapa pun bisa terjangkit kalau tidak waspada dan tidak terus memupuk relasi itu dengan perhatian dan cinta di antara kedua belah pihak.
Sebuah perceraian acap kali terjadi karena situasi, kenyataan, dan persoalan yang begitu serius. Hal itu menyebabkan kedua belah pihak sulit menemukan pintu damai.
Berada bersama hanya menimbulkan sakit hati pada salah satu pihak. Makanya, berpisah dipandang sebagai jalan untuk melepaskan diri dari rasa sakit hati tersebut.
Pekan lalu, saya begitu terkejut mendengar kisah tentang seorang teman. Seorang ibu guru SD. Dia memilih berpisah dengan suaminya. Keputusan sulit itu terlahir sewaktu masa karantina.
Tidak heran, tidak banyak yang tahu tentang keputusannya itu. Orang tahu saat teman ini pindah alamat ke desa lain. Rumahnya ditinggalkan.
Di balik keputusan rumit itu, tentunya bukan saja dua pihak yang merasa sedih dan kecewa. Juga, keluarga kedua belah pihak beserta orang-orang yang mendukung relasi mereka. Terlebih lagi, dampaknya bagi anak-anak mereka.
Perceraian antara kedua belah pihak bisa memengaruhi mentalitas anak-anak.
Misalnya, jika penyebab perceraian adalah pihak laki-laki, anak bisa saja mempunyai pandangan negatif terhadap figur seorang ayah. Hilang kepercayaan pada figur laki-laki sebagai sosok yang bertanggung jawab. Atau juga, menyimpan rasa benci pada sosok seorang ayah.