Mohon tunggu...
doni hermawan
doni hermawan Mohon Tunggu... lainnya -

pria 24 tahun yang hobi tentang hal-hal yang berbau musik, olahraga, berpetualang,terutama menulis, serta fotografi yang sedang coba dipelajari lebih intens. Saat ini tengah berjuang menyelesaikan s1nya di ekstensi Ilmu Komunikasi FISIP USU. Hari-hari diisi dengan menulis dan terus menulis. Karena baginya menulis adalah bercerita kepada siapapun yang membaca tulisannya. Impiannya adalah bisa berkeliling dunia dengan tulisan-tulisannya. Salah satunya meliput piala dunia secara langsung. Walaupun itu masih sekedar mimpi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bukan Hanya Karena Ramadhan Kita Berbagi

19 September 2010   15:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:07 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seorang tua renta tengah duduk di pelataran halaman Mesjid Raya Medan. Sebut saja namanya Pak Jaya. Ia duduk termenung. Entah apa yang ada dipikirannya. Mungkin memikirkan nasibnya yang kurang beruntung. Di usianya yang mungkin sudah mencapai tujuh puluhan itu untuk tempat berteduh dari panas dan hujan saja ia tidak punya. Setiap harinya ia harus berpindah tempat mencari lapak-lapak untuk tidur atau sekedar berteduh. Trotoar-trotoar jalan atau di emperan toko bak rumah untuknya.
Setiap matahari terbit bagaikan momok baginya. Ia terus memikirkan bagaimana bertahan menjalani sisa umurnya. Untuk makan dan minum, terpaksa ia harus mengemis. Mengharapkan belas kasihan dari orang-orang.
Namun tidak dengan hari-hari di bulan Ramadhan. Ya, di setiap Ramadhan, Pak Jaya bisa bernafas lega. Mengapa? Karena setiap orang akan berlomba-lomba untuk mengasihani orang seperti dirinya. Juga orang lain yang bernasib tak jauh berbeda dengannya. Mangkuk yang biasa digunakannya untuk menerima uang sedekah dari para pengiba kerap penuh dengan uang. Sesekali ada uang kertas berwarna biru dengan nominal 50 ribu.
Hal yang sangat jarang didapatkannya. Biasanya hanya beberapa  uang recehan logam yang singgah ke mangkuknya. Untuk membeli nasi bungkus pun terkadang tidak mencukupi.
Menjelang sahur, Pak Jaya juga tak perlu repot memikirkan nasi atau lauk untuknya bersantap. Karena hampir setiap malam akan ada orang yang membangunkannya dan memberinya sebungkus nasi. Dengan lauk yang lezat, lengkap dengan air minumnya. Entah itu dari para anak-anak sekolah dan mahasiswa, para karyawan, komunitas-komunitas mobil atau sepeda motor, para artis sampai para calon anggota DPR yang tengah mencari simpati bergantian memberinya santap sahur. Sahur on The Road bersama kaum dhuafa begitu label acara yang sering dikatakan mereka.
Namun setelah mentari tenggelam di akhir Ramadhan, Pak Jaya kembali harus menghadapi momok-momoknya. Memikirkan kembali bagaimana bertahan hidup dengan usahanya sendiri. Usaha yang kembali harus lebih keras menghadapi keangkuhan orang-orang berdasi. Tak ada lagi nasi bungkus gratis dan lembaran uang yang secara gampang diperolehnya saat Ramadhan.
Cerita tentang Pak Jaya tadi hanya sebuah gambaran realita yang kerap kita temui di masyarakat. Seorang miskin yang mendadak seperti orang penting di bulan Ramadhan. Karena orang-orang ramai mencarinya. Memberinya sedekah atau santapan sahur. Terserah atas nama pahala atau memang iba melihat nasibnya. Pak Jaya memang tokoh fiksi, tapi nasib yang dialaminya adalah fakta bagi sebagian rakyat negeri ini. Orang-orang yang selalu merasa kerdil di tengah tingginya gedung-gedung bertingkat.
Di bulan ini, hampir setiap orang tak lagi ragu menyisihkan sedikit koceknya. Untuk berbagi dan ikut merasakan kepedihan mereka. Tatapan sinis yang biasanya dilayangkan ke mereka, kini berubah menjadi senyum. Mungkin karena khutbah ustadz-ustadz yang bilang kalau pahala akan dilipatgandakan di bulan ini. Mungkin karena banyak yang bilang kalau seluruh dosa akan diampunkan.
Tapi kenapa hanya bulan ini kita mau berbagi? Kenapa hanya di bulan ini kita menjadi ramah dengan mereka? Haruskan atas nama Ramadhan, baru mereka kita perhatikan. Mereka hanya bernasib kurang beruntung dari kita, bukan orang hina. Di hati kecil mereka, mungkin terbesit harapan, kenapa tidak setiap bulan adalah Ramadhan?
Ramadhan memang indah dan penuh berkah, tapi percayalah 11 bulan lainnya juga akan terasa indah jika kita senantiasa berbagi. Dengan orang-orang seperti Pak Jaya. Menghidupkan suasana religius yang terasa sangat menenangkan jiwa. Semoga saja kita tidak amnesia lagi saat masuk ke bulan selain Ramadhan. Sampai jumpa di Ramadhan tahun depan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun