Mohon tunggu...
Donni Desyandono
Donni Desyandono Mohon Tunggu... -

Jakarta, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Memiliki Anak dengan ‘Kebutuhan Khusus’

20 April 2011   09:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:36 1211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13032939032082561304

[caption id="attachment_103642" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (hiren.info)"][/caption] Kevin lahir 12 tahun yang lalu dalam kondisi normal. Tidak ada tanda-tanda kelainan dalam dirinya. Bayi Kevin dapat berinteraksi tertawa seperti anak biasa. Menjelang umur 2 tahun saya dan istri melihat ada yang mencurigakan dalam pertumbuhannya. Secara fisik pertumbuhan normal, hanya Kevin bisa belajar berjalan sampai berlari tidak melalui proses merangkak, dan tidak pernah bersuara, hanya menunjuk apabila membutuhkan sesuatu. Pada waktu itu kami mencoba mencari lembaga tumbuh kembang anak, untuk berkonsultasi dimana masih sulit ditemukan. Dari hasil observasi di lembaga tersebut ternyata Kevin didiagnosa menyandang autis namun ditekankan masih dalam kondisi ringan. Hal yang mengagetkan sekaligus disyukuri karena ada kata ‘ringan’.

ASD (Autistic Spectrum Disorder)

Perjuangan mencari terapi atau artikel mengenai autisme pada sekitar tahun 2000, tidak mudah. Yang paling membantu adalah melalui media internet. Apa itu autisme dan gejala serta penyebabnya begitu banyak versi. Mulai dari kondisi ibu pada saat kehamilan sampai dengan pengaruh vaksinasi tertentu yang disinyalir menjadi penyebabnya.

Kevin kecil mulai mengikuti program terapi sejak tahun 2001. Dalam terapi dilakukan program Speech Therapy (terapi wicara), Sensory Integrasi (SI) dan Okupasi. Pada saat terapi sering menjerit-jerit dan menangis sehingga harus digendong dan sedikit dipaksa. Penolakan yang tidak jelas, karena hanya terapi motorik bukan disuntik, jadi seharusnya buat anak normal lainnya hal ini bukan yang menakutkan.

Sejak usia 3 tahun, Kevin mulai terlihat ‘berbeda’ dengan anak lainnya. Senang memutar-mutar roda mobil-mobilan atau benda apapun yang dapat diputar. Dia asik dengan dunianya sendiri. Kadang-kadang mengamuk atau bertindak hiperaktif, mengeluarkan suara-suara aneh. Kalau masuk ke suatu tempat baru, semua pintu dibuka dan cenderung mengganggu orang lain. Kevin tidak peka terhadap lingkungan dan keadaan bahaya. Pernah juga lari keluar rumah tanpa jelas arahnya, sehingga kami harus ekstra mengawasinya.

Semua usaha terapi dilakukan. Pada awalnya terapi didampingi obat dari dokter. Namun dalam waktu tidak terlalu lama, kami melihat Kevin jika terus mengkonsumsi obat-obatan kami khawatir justru bisa kena efek samping. Akhirnya kami menemukan dokter dengan konsep herbal, meskipun biayanya cukup mahal, kami berusaha memenuhi kebutuhannya, sampai dengan umur 9 tahun.

Gangguan Disorder

Gangguan yang terjadi dimulai dari perilaku hiperaktif, mengamuk (tantrum), ketakutan yang tidak jelas, seperti suara keras, naik lift (atau benda bergerak), ketakutan terhadap matahari, bahkan sampai dengan ketakutan bukan pada obyeknya saja, tapi jika kita menyebut obyek itu dia akan menutup telinga, wajah sambil menjerit. Perilaku hiperaktif ini sempat terbaca di Kevin sehingga terdeteksi sebagai ADHD (Attention Deficit Hyperaktivity Disorder) disamping Autistic Spectrum Disorder pada saat terapi awal. Namun berkat kerja keras para guru, terapis dan tentunya dukungan keluarga, perilaku ADHD saat ini sudah tidak ada dan hanya ASD (Autistic Spectrum Disorder).

Sejalan dengan pertumbuhannya tentunya Kevin harus sekolah seperti anak lainnya. Alhamdulillah Kevin dapat diterima di sekolah taman kanak-kanak di Al Fauzien Depok, dan sampai dengan tingkat Sekolah Dasar seperti saat ini. Pada mulanya kami tidak mudah mencari sekolah yang dapat menerima kondisi Kevin. Kami tidak ingin Kevin bersekolah di sekolah khusus (eksklusif) dengan lingkungan teman-teman dengan kebutuhan khusus yang sama, namun bisa berharap dapat diterima di sekolah umum biasa, dengan tujuan dia bisa terbawa perilakunya seperti teman-temannya secara umum. Tentunya ada sedikit perlakuan berbeda seperti adanya guru pendamping (shadow Teacher), yang tujuannya adalah untuk membantu mengarahkan apabila Kevin memerlukan bantuan di kelas yang sama dengan anak-anak tanpa kebutuhan khusus. Sekolah seperti ini dikenal dengan sebutan sekolah Inklusi.

Kevin dalam masa belajar di Sekolah Dasar mengalami perkembangan pasang surut. Peran sekolah kami rasakan sangat membantu membentuk pribadi Kevin untuk menjadi anak yang mandiri serta proses menekan penyimpangan yang terjadi. Selama sekian tahun selain sekolah resmi, juga masih dilakukan terapi di Lembaga tumbuh kembang anak.

Kevin juga memiliki kelebihan di bidang kesenian dan matematika. Dia bisa menghitung secara tepat apabila kita menanyakan nama hari, pada tanggal dan tahun tertentu. Tidak tahu metoda penghitungan apa yang dia gunakan, namun yang jelas selalu akurat. Hal lainnya adalah Kevin belajar mengaji dan menulis arab. Membaca Al Quran juga sudah khatam.

Perkembangan yang luar biasa kami rasakan meringankan kami, meskipun begitu banyak ‘effort’ yang kami lakukan demi merawat titipan Allah ini, namun banyak juga hal positif yang didapat.

Kevin pernah hilang dari rumah, dengan tiba-tiba bersepeda sendiri keluar pagar, padahal waktu itu saya sendiri sedang berada di teras rumah, tapi dia begitu sunyi dan cepat menghilang. Kami sempat mencari selama 2 jam melibatkan tetangga, namun ditengah keputus-asaan, kami menemukan dia bersepeda di jalan raya ditenga-tengah mikrolet dan bus. Alhamdulillah Kevin bisa diselamatkan, dan pada waktu ditanya ternyata dia ingin menjemput adiknya di sekolah, namun kesasar.

Sekarang Kevin sudah menginjak kelas 6 SD, dan segera melakukan ujian nasional. Dia setiap malam sibuk belajar, dan membuat ‘homework’ dari sekolah dengan tekun. Meskipun jarang sekali berbicara namun dia bisa melaksanakan kewajibannya tanpa harus diperintah. Dia juga rajin sholat 5 waktu.

Sayangnya sekolah yang sekarang tidak memiliki tingkat SMP, sehingga kami harus mencari sekolah mana yang dapat menerima Kevin untuk melanjutkan sekolahnya. Berbagai informasi mengenai sekolah Inklusi kami cari, namun hampir semua menolak secara halus dengan alasan batasan kuota terhadap anak-anak berkebutuhan khusus ini. Bahkan kami sempat kecewa atas jawaban tidak bisa diterimanya kevin di sekolah yang katanya terbaik sebagai sekolah inklusi yang menangani anak-anak berkebutuhan khusus.

Di tengah ‘berlombanya’ sekolah mencari calon murid, beredar juga informasi adanya sekolah yang mengaku sebagai sekolah inklusi namun dalam perjalanannya ternyata anak berkebutuhan khusus tidak diperhatikan perkembangannya, dan dianggap seperti anak kebanyakan. Jika ini benar terjadi, sangat disayangkan.

Perjalanan mencari sekolah masih terus kami lakukan, dan berharap Kevin dapat diterima di sekolah yang baik dan secara tulus mendidik anak-anak berkebutuhan serupa. Hal ini pasti dirasakan juga banyak orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Bagaimana biaya sekolah yang relatif tidak murah ini harus ditanggung oleh orang tua - orang tua lain seperti kami.

Kami berharap pemerintah minimal ada sedikit perhatian terhadap konsep sekolah Inklusi ini, dimana sekolah-sekolah dengan konsep serupa dibantu untuk berkembang, juga diberikan subsidi jika perlu, agar orang tua dari anak berkebutuhan khusus dapat terbantukan, dan anak-anak berkebutuhan khusus ini dimanapun, strata ekonomi apapun mendapatkan hak pendidikan, terapi dan pengakuan yang sama seperti anak-anak lain kebanyakan. Bukankah tidak ada seorang anakpun yang berharap terlahir dan tumbuh dengan kebutuhan khusus?

Note:

Terima kasih untuk Bapak/Ibu guru Kevin di Al Fauzien Depok dan para Terapis di Pela 9 dan pak Rizal di Central Tumbuh Kembang anak Mampang, serta pak Ustad Syahri yang mengajari Kevin mengaji.

Jakarta, April 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun