Mohon tunggu...
Doni Osmon
Doni Osmon Mohon Tunggu... -

“Senang akan dokumentasi.” Menulis, keinginan untuk berbagi. Ini menyehatkan. Saya percaya itu. Bahasa motivator abad kini: akan membuat kaya. “Sedekah”, demikian kata Nabi.\r\n\r\n\r\nSetiap apa pun, hampir pasti ada bagian yang bisa diambil manfaatnya. Lihatlah, tidak semua pohon adalah pohon kelapa. Bahkan, di antaranya ada yang pohon berduri. Sekalipun begitu, mudahkanlah! Inilah mengapa saya menulis Iman dalam Secangkir Kopi–publikasi pertama dalam bentuk buku dari dokumentasi yang saya miliki.\r\n\r\n\r\nMemang relatif ‘soliter’, tetapi tidak membatasi diri pada pengetahuan apapun. Bagi saya, pasti ada sisi menariknya. Mengerjakan naskah-naskah tentang hobi, manajemen keuangan, pendidikan anak dan kesehatan diri. Tidak menunggu sempurna, di sinilah ada ruang satu sama lain di antara kita saling mengisi celah dalam bentuk kerja sama. Bukan ‘soliter’ sejati kan? Nah, selamat berteman dengan saya.\r\n\r\n\r\nSebenarnya, melukis juga bidang yang saya senangi. Ini juga kegiatan ‘halus’, sebagaimana menulis. Selain itu, menyenangi pula orang yang bisa men-desain. Visualisasi itu penting. Satu gambar, lebih dari satu kata. Tapi, saya tetap percaya, suatu perubahan bisa dimulai hanya dari satu kata.\r\n\r\n\r\n“Kalimat-kalimat itu selain memberi informasi, juga mesti memancing emosi” itulah barangkali yang disebut menginspirasi.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Global Warming dan Penyesatannya

4 Oktober 2013   16:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:00 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pada tanggal 16 September kemaren, melalui lembaga dunia PBB, masyarakat internasional memperingati Hari Ozon Sedunia. Tahun ini tema yang diangkat adalah Atmosfir yang Sehat, Masa Depan yang Kita Inginkan.

Berbicara ozon ataupun atmosfir pastinya mengingatkan kita pada isu global warming atau pemanasan global, suatu isu mendunia sebagaimana terorisme. Isu ini berawal dari pemahaman terhadap efek rumah kaca.

Adalah Svante Arrhenius, yang dicatat sebagai ilmuwan pertama melakukan penelitian kuantitatif terhadap efek rumah kaca. Ia menunjukkan relasi konsentrasi karbondioksida atmosfir dengan temperatur bumi. Menurutnya, peningkatan dua kali konsentrasi karbondioksida akan membuat temperatur meningkat sebesar 5 derajat.

Bersama Thomas Chamberlin, Svante Arrhenius mengkalkusikan temperatur bumi akan meningkat melalui penambahan karbondioksida ke atmosfer oleh aktivitas manusia. Pada awalnya, penelitian tersebut tidak mendapat perhatian serius.

Pada 1940-an, dimana dikembangkan spektroskop infra merah untuk pengukuran radiasi gelombang panjang, dimana dibuktikan bahwa peningkatan jumlah karbondioksida di atmosfir mengakibatkan peningkatan penyerapan radiasi inframerah yang berhubungan dengan peningkatan temperatur bumi, selanjutnya populer dengan sebutan pemanasan global (global warming).

Pemanasan global atau peningkatan suhu rata-rata bumi, tidak sekedar berkaitan dengan terciptanya suhu yang (mungkin) membuat kita kurang nyaman, permasalahannya jauh lebih besar dari itu; berakibat perubahan pola iklim dunia dan gejala-gejala alam lainnya

Temperatur merupakan satu faktor yang ikut dalam pembentukan iklim berikut gejala alam lainnya, seperti berhembusnya angin, jatuhnya hujan, datangnya musim kering, musim dingin, hancurnya salju, mengalirnya air, datangnya ombak, badai dan seterusnya. Akhirnya, terjadinya banjir, tsunami, badai dan sebagainya, tak sedikit yang dikaitkan dengan isu pemanasan global. Di sinilah, emisi karbondioksida hampir selalu menjadi pokok bahasan.

Karbon dioksida bukan satu-satunya gas rumah kaca di atmosfir sebenarnya, ada yang lainnya; methane (CH4), uap air, dinitro-oksida (N2O), perfluorocarbon (PFC), hydrofluorocarbon (HFC) dan sulphur hexafluoride (SF6). Sebagai hasil pembakaran, keberadaan emisi karbon di alam (mungkin) tidak bisa dihindari. Namun yang menjadi titik pokok persoalan adalah seberapa banyak jumlah emisi karbon yang dihasilkan. Pembakaran yang menggunakan bahan bakar dari bahan bakar fosil seperti minyak bumi, gas alam dan batubara, berkontribusi pada peningkatan emisi rumah kaca saat ini. Emisi karbon dioksida yang pada mulanya 18,3 milyar ton, tahun 1980 menjadi 27,0 milyar ton atau telah terjadi peningkatan rata-rata 1,6% per tahun.

Berbagai negara adalah penyumbang emisi karbon dalam jumlah yang sangat besar. Sepanjang tahun 2010, negara penyumbang emisi karbon terbesar adalah Cina, Amerika Serikat dan India.

Negara-negara yang disebutkan ini, seperti kita tahu, tidak sekedar negara yang sedang maju industrinya, tetapi juga negara dengan penduduk dalam jumlah yang besar. Dilihat dari kenyataan ini, bisa jadi peningkatan emisi karbon berhubungan lurus dengan pola konsumsi energi individual tiap-tiap diri dari suatu anggota masyarakat.

Dalam laporan bejudul The Food Wastage Footprint, Food and Agriculture Organisation (FAO) dari PBB memperkirakan jejak karbon dari makanan terbuang setara dengan 3,3 milyar to karbon dioksida per tahun. Dua negara yang meraih posisi teratas dalam hal pembuangan makanan adalah Amerika Serikat dan China

Adanya bahaya efek rumah kaca, secara ilmiah boleh jadi tidak terbantah. Namun kemudian, ketika dibawa ke isu politik, di sini terjadi penyesatan. Di antara penyesatan tersebut adalah memposisikan salah satu pihak secara berlebihan. Misalnya, beban kesalahan lebih ditempatkan pada negara-negara berkembang yang memanfaatkan hutannya untuk kegiatan ekonomi masyarakat.

Sementara di pihak lain, seperti yang tercermin dari kritik Prof. Djalal Tanjung, tumbuhnya pabrik-pabrik industri maju tidak sama lantangnya diteriakkan sebagai pihak yang bertanggungjawab pada pemanasan global ini.

Amerika Serikat dan Kedelai

Amerika Serikat, selain aktif mencari sumber-sumber energi bagi industrinya, juga aktif menjadikan negara-negara lain sebagai pasar bagi produk-produknya. Bukan hanya produk industri, tetapi termasuk juga produk pertanian. Lihat saja pada produk pertanian kedelai yang harganya melambung saat ini. Negara pengimpornya yang terbesar bagi negara ’agraris’ Indonesia adalah Amerika Serikat.

Di satu pihak, negara-negara industri seperti menempatkan dalam posisi salah negara berkembang seperti Indonesia yang memperluas kebun sawitnya di berbagai daerah, tetapi di pihak lain seolah berlaku pepatah: gajah di pelupuk mata tidak kelihatan. Perilaku yang sama ditunjukan oleh pejabat ’negara terjajah’. Untuk menanam kedelai jelas membutuhkan lahan yang artinya memangkas hutan.

Akhirnya, tidak salah jika ada yang memandang isu global warming seperti halnya isu terorisme, instrumen yang digunakan untuk menekan pihak lain. Sebagai misal, eksekusi dilakukan pada pemuda yang dikatakan pelaku bom bali, tetapi bagaimana dengan Barack Obama dan pendahulunya yang mengirim pasukan militer ke berbagai wilayah dunia atas konflik yang mungkin saja direkayasa oleh pihak yang sama. Pejabat-pejabat di negeri ini boleh jadi sama tindak-tanduknya dengan Amerika Serikat yang tidak menolak adanya global warming tetapi menolak meratifikasi Protokol Kyoto.

Pencuri kayu bakar atau maling seekor ayam boleh jadi ditindak cepat, tetapi pembuat kebijakan yang hanya menguntungkan eksportir sepihak tak akan mendapat sorotan tajam, apalagi sampai mendapat hukuman. Terlepas sampai kapan hubungan tidak sehat ini berlangsung, sungguh suatu atmosfer yang tidak kita inginkan.//

Dengan poin penekanan berbeda, artikel global warming bisa dibaca di sini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun