Mohon tunggu...
Doni Ekasaputra
Doni Ekasaputra Mohon Tunggu... Dosen - Jebolan Mahad Aly Situbondo

Mengolah rasa menuju cinta-Nya

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Mana Dulu, Qada' Hutang Puasa Atau Puasa Sunah Syawal?

24 Mei 2021   10:21 Diperbarui: 24 Mei 2021   10:45 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto adalah dokumentasi Pribadi penulis

Saya sebenarnya tidak tertarik untuk menulis status seperti ini. Menurutku, nulis yang beginian ini tidak penting-penting amat. Walaupun ditulis, Gak kira ada yang mau baca. Paling banter wan-kawan sekalian cuman baca judulnya, udah Gitu doang.

Baru baca judul, langsung deh ambil kesimpulan sendiri. Terus berlagak tahu segalanya.

Oh my god! Mahabenar Netijen dengan segala komennya. Nah! Yang beginian ini yang sering kemakan berita hoax. Baru baca judul doank udah main share, komen, nyinyir wa akhwatuha.

Namun apa daya, dengan terpaksa saya harus capek-capek nulis. Demi memenuhi permintaan salah seorang  teman saya. Sebutlah inisial kawan saya itu namanya Zakky Amir

Dengan lagak agak emosi bin mangkel dia nyodorin saya sebuah pesan whatssapp. Ternyata pesan wa itu isinya adalah tulisan salah seorang ustad Wahabi. Sebut saja inisialnya HWB. Kalau lihat ekor namanya,  ustad ini sepertinya orang Bima. Berarti satu daerah denganku? Kayaknya seh gitu.

Tulisan ustad tersebut tersusun dengan lay out  yang sangat rapi. Laiknya pesan yang sudah dipersiapkan untuk viral,tata letaknya bagus pakek banget. Kemasannya dipercantik sehingga orang tertarik untuk membacanya dan kagak bosen. Bahkan lengkap dengan link medsos dan nomor HP.


Inti pesan whatsapp tersebut adalah "Dilarang melakukan puasa Syawal 6 hari kalau masih punya hutang puasa Ramadan". Pahala puasa setahun sebagaimana yang dijanjikan oleh nabi tidak akan pernah tercapai bilamana kita masih memiliki tanggungan puasa qada' Ramadan.

Terkait keutamaan dan tehnis puasa 6 hari bulan syawal, sudah saya tulisan tiga hari yang lau di status fb saya. Silahkan baca kalau belum pernah lihat. Paling tidak lihat judulnya atau gambar statusnya, gak apa-apa. Klick di sini: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=3474396645921540&id=100000537164042

Jadi, kalau mau puasa syawal 6 hari, silahkan selesaikan dulu qada' puasanya baru kemudian melaksanakan puasa sunnah. Untuk memperkuat argumen-argumennya, dikutipnya kitab-kitab Syekh Usaimin. Lumrahnya orang wahabi, rujukannya pasti dikembalikan kepada karangan Syekh Utsaimin. Katanya kembali kepada Alqur'an dan Hadis, kok masih taqlid?

Argumemntasi pendeknya kira-kira begini, "mengabaikan ibadah wajib demi mengerjakan ibadah  sunnah, itu tentu kekeliruan level dewa". Hadza min ziyadati.

Sepintas, tidak ada yang bermasalah dengan tulisan ustad tersebut. Namun entah mengapa temanku itu menyuruhku untuk membuat tulisan tandingan. Enak ajah dia nyuruh-nyuruh. Dikiranya nulis itu cukup hanya bermodal buka satu dua rujukan. Aku mah kagak berani yang begituan. Apalagi mau menyanggah ide orang lain. Butuh jungkir balik buka puluhan referensi, baru bisa nyeramahi orang.

Secara fikih, pesan "wa" itu baik-baik saja. Nyatanya memang ada ulama yang berpendapat demikian. Paling tidak ya Syekh Utsaimin. Fiqh sebagai produk  final dari proses ijtihad maka apapun hasilnya tetap sah dan dapat bintang satu kalau salah dan dapat bintang dua kalau benar. Namun seakurat-akurat fatwa fiqh, "beliau" tidak boleh kehilangan konteks. Katanya mahasiswa baru, fiqh tidak boleh turun dalam ruang hampa. Nanti masuk angin.

Dalam tradisi fiqh, setiap pendapat wajib hukumnya melahirkkan minimal dua pendapat yang berbeda. Bahkan satu problem bisa melahirkan sampai belasan aqwal yang berbeda-beda. Tapi ini mah biasa adja, namanya juga dugaan (dzan) mujtahid.

Lalu untuk apa perbedaan itu ada?   

Setidaknya perbedaan tersebut membuat mata kita melek bahwa fiqh adalah samudra yang tak bertepi. Langit yang tak berpilar. Dampaknya, fatwa fiqh sangat tidak cukup dijadikan landasan untuk mengafirkan atau memurtadkan orang. Minimal, fiqh tidak bisa dijadikan amunisi untuk amar makruf nahi mungkar.

Perbedaan fiqh lahir sebagai wajah Islam yang belas kasih kepada manusia. Islam gak mau pemeluknya disuguhi satu pendapat doang karena ini jelas akan melanggar fitrah manusia yang hidup dalam kultur dan sikon yang berlainan. Fatwa hukum yang tunggal berpotensi besar untuk menyulitkan dan memberatkan, padahal taqwa itu diperintahkan semampunya saja.

Lah! Kalau kemudian gak boleh puasa Syawal hanya karena punya tanggungan puasa ramadan, terus kapan nyawalnya? Iya kalau punya hutang cuman tiga hari, kalau punya hutang sebulan penuh? Bisa gak dapat pahala puasa syawal sama sekali,  walau hanya secuil.

Nah disinilah pentingnya memberikan wacana tandingan prihal persoalan ini. Biar gak melulu menampilkan wajah Islam yang kaku dan keras. Bahkan nauzubillah kita telah membuat orang-orang menjauh dari Islam. Menampilkan hukum-hukum yang serem dan berat akan membuat orang lari terbirit-birit meninggalkan Islam.

Kepada sahabat Mu'adz dan Abu Musa Rasulallah berpesan,

 "Berilah kemudahan dan jangan mempersulit, Berilah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari..." [HR Bukhari dan Muslim].

Ini adalah pesan nabi kepada mereka berdua ketika hendak diutus ke Yaman untuk berdakwah.

Lanjut!

Pertanyaannya, apa benar puasa sunnah Syawal bisa batal karena mengabaikan kewajiban qada' puasa Ramadan?

Jawaban jumhur ulama mengatakan tidak.  Hutang puasa tidak dapat menghalangi seseorang untuk melakukan puasa sunnah 6 hari bulan Syawal. Setiap orang punya hak yang sama untuk mendapatkan keutamaannya. Walaupun yang bersangkutan memiliki hutang puasa Ramadan.

Argumentasi jumhur ulama mulai dibangun dari status kewajiban qada' puasa, apakah kewajiban qada' puasa Ramadan itu sifatnya  "faur" (bersegera) ataukah longgar (tarakhi)?

Mayoritas ulama mengatakan bahwa kewajiban qada' puasa Ramadan  sifatnya "tarakhi". Artinya, waktu pelaksanaan qada' bisa diundur sampai menjelang pelaksanaan ramadan yang akan datang. Catatannya, jangan diundur sampai mengakibatkan ruang waktu untuk melakukan qada puasa menjadi  hilang.

Kewajiban qada' puasa ini agak beda dikit dengan dengan kewajiban qada' salat. Qada' salat wajib dilakukan sesegera mungkin. Tidak boleh ditunda-tunda atau molor-molor apabila penyebab meninggalkan salat bukan karena uzur syar'i. Namun apabila seseorang tidak salat karena ada uzur syar'i maka mengqada'-nya tidak harus  bersegera. Kalau kewajiban qada' puasa Ramadan mutlak berlaku secara "tarakhi", baik tidak puasa karena ada uzur atau tidak  ada uzur.

Salah satu dari tujuh dalil yang dijadikan pijakan oleh jumhur ulama adalah firman gusti Allah subhanahu wa ta'ala dalam surah Albaqarah ayat 148:

Terjemahnya dari syekh google kira-kira begini, "...Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain". Kali ini, embah google memberikan translite yang lumayan akurat, alhamdulillah. Biasanya banyaan salahnya daripada benarnya.

Coba baca teks arab dan terjemah ayat tersebut berulang kali. Ayat tersebut tidak akan pernah bisa berbicara apapun tanpa diajak untuk berbicara. Tidak ada kesimpulan hukum yang dapat dipetik darinya. Untuk itu antum butuh alat komunikasi. Alat komunikasi manusia dengan Alqur'an salah satu dari salah banyak lainnya adalah kaidah-kaidah usul  fiqh, bukan terjemah departemen agama. Alqur'an tidak akan pernah mampu menjadi pedoman menuju jalan yang lurus kalau hanya mencukupkan diri dengan Alqur'an terjemah.

Kata anak didiku di bangku Tsanawiyah, kalimat " "  pada ayat tersebut di atas berbentuk nakirah yang berada dalam kalimat "positif" (isbat). Kaidah usul fiqh mengatakan, "Isim nakiroh yang berada dalam susunan kalimat positif menunjukkan kemutlakan". Sejauh ini, kemutlakannya tidak dapat dibatasi (taqyid). Darinya, dapat ditarik pemahaman bahwa  tidak boleh membatasi qada' puasa dengan beberapa waktu tertentu kecuali ada dalil. Oleh sebab itu, kewajiban qada' bersifat "muassa'" melonggar, tidak perlu segera dikerjakan. 

Qada'-nya juga tidak perlu dilakukan  secara berurutan. Boleh dilakukan secara terpisah. Hal ini karena ayat di atas kedudukannya disamaratakan (ta'mim) dengan surah Albaqarah ayat 196 yang berbicara tentang kewajiban berpuasa sebagai ganti dari dam haji.

Alasan lainnya masih banyak, silahkan lihat sendiri di buku, "Ikhtiyarat al-Fiqhiyah" karangan Ubaidillah Almubarakfuri.

Namun saran saya, buat antum sekalian yang lagi punya hutang puasa Radaman, sebaiknya qada'-nya segera dilakukan. Kita kagak tahu umur bakalan sampe dimana, iya kan? Bisa saja aku belakangan, antum duluan...

Kenapa pahala puasa 6 hari bulan Syawal begitu besar? Sekali lagi, Ini adalah wujud kemurahan dan kasih sayang tuhan kepada manusia. Diberikannya pahala yang teramat besar agar antum sekalian termotivasi untuk segera melakukan qado' puasa di bulan Syawal.   Kalau kagak termotivasi, yak gak apa-apa.

Cara qado'-nya langsung adjah digandeng dengan niat puasa sunnah 6 hari bulan Syawal. Insyaallah dapat dua bintang. Hutang puasa jadi lunas dan dapat pahala puasa sunnah 6 hari bulan Syawal. Dalam kajian fikih, hal yang beginian ini boleh-boleh saja dan udah lumrah. Rujukan-rujukannya lumayan banyak. Walaupun ada juga yang mengatakan tidak sah.

Perbeda ulama dalam kasus yang beginian ini berkaitan dengan persoalan menggabungkan dua niat dalam satu ibadah (tasyria al-niat) dalam ranah ibadah "al-maqshdah li dzatiha" dan  "al-maqshudah li gairiha".

Imam Nawawi yang diikuti oleh Imam Asnawi berpendapat bahwa puasa qada' sembari niat puasa sunnah Syawal hukumnya batal. Alasannya, puasa sunah muakkad adalah ibadah "al-maqshdah li dzatiha". 

Namun versi lain,  Imam Ibnu Hajar mengatakan puasa sunah muakkad tersebut berstatus sebagaimana salat tahiyyat yang merupakan ibadah "al-maqshudah li gairiha". Tujuan disyariatkan puasa sunah muakkad tersebut adalah untuk menyibukkan diri dengan perbuatan taat. Oleh karena itu,

terjadinya "tasyrik al-niyyah" dalam kasus ini diperbolehkan.

Memang wajah fiqh itu begini. Sampai kapanpun "beliau" akan menampilkan keragaman yang berpelangi. Untungnya buat antum, dan aku juga tinggal ikuti mana yang paling relevan dengan situasi dan kondisi masing-masing. Dengan begitu, Islam nampak sangat ramah lingkungan.

Saya kira segini ajah.

Tulisan ini udah sangat banyak dan panjang.

wallahu 'alam bissawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun