Warisan Sistem Sosial yang Mengakar
Pabrik gula bukan hanya sekadar mesin raksasa pengolah tebu menjadi gula. Di balik kepulan asap cerobong dan deru mesin giling, terdapat sebuah sistem sosial yang mengatur kehidupan ribuan orang, baik di dalam pabrik maupun di desa-desa sekitarnya. Pada masa kolonial Belanda, sistem ini membentuk struktur sosial yang sangat hierarkis, menyerupai feodalisme modern. Pabrik gula tidak hanya berperan sebagai pusat ekonomi, tetapi juga sebagai pusat kekuasaan yang menciptakan stratifikasi sosial antara golongan elite dan kaum pekerja rendahan.
Akar Feodalisme di Pabrik Gula
Feodalisme di lingkungan pabrik gula bermula dari sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) yang diperkenalkan pada abad ke-19. Petani Jawa diwajibkan menanam tebu di sebagian lahannya, sementara hasilnya dipasok ke pabrik gula yang dikuasai pengusaha Belanda. Seiring berkembangnya industri gula, pabrik-pabrik besar didirikan di Jawa, termasuk di Madiun dan sekitarnya, yang kemudian menjadi salah satu daerah penghasil gula penting.
Di dalam sistem ini, kekuasaan tertinggi berada di tangan Administrateur (Adm), seorang pejabat Belanda atau Indo yang memimpin pabrik. Di bawahnya ada Controleur (CA), Sinder (pengawas lapangan), dan staf teknis. Mereka adalah kelompok yang menempati lapisan atas dalam hierarki sosial pabrik. Sementara itu, petani penggarap, buruh tani, dan kuli pabrik berada di lapisan bawah, bekerja keras demi memenuhi target produksi.
Pembagian Golongan: Karyawan 1 dan Karyawan 2
Feodalisme di pabrik gula terlihat jelas dalam pembagian karyawan.
Karyawan 1 adalah pegawai tetap atau staf inti yang memiliki akses ke fasilitas eksklusif, rumah dinas, kendaraan, layanan kesehatan, hingga klub pergaulan khusus yang disebut soos. Mereka menjadi simbol status sosial yang dihormati, bukan hanya di lingkungan pabrik, tetapi juga di masyarakat sekitar.
Karyawan 2, sebaliknya, adalah buruh kasar, kuli, dan pekerja musiman. Mereka tinggal di barak-barak sederhana, bekerja dengan upah harian rendah, tanpa jaminan sosial, dan nyaris tanpa fasilitas tambahan.
Perbedaan tajam ini tidak sekadar menyangkut ekonomi, tetapi juga gaya hidup, pergaulan, bahkan status sosial di mata masyarakat desa.