Mohon tunggu...
Doni Febriando
Doni Febriando Mohon Tunggu... -

Saya hanyalah seorang manusia yang mencintai Negara Indonesia. Maka dari itu, saya ingin menulis di Kompasiana sebagai wujud kekonsistenan cita-cita saya. Dan, saya harap tulisan saya bermanfaat bagi Anda-Anda semua. Sekarang, saya kuliah di FISIPOL - UGM. Semoga tulisan-tulisan saya ini membuat pengertian yang lebih baik akan Negara Indonesia kepada Anda semua.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Catatan Hari Kedua Gelaran Indonesia Youth Summit 2011

26 Oktober 2011   01:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:30 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebelum bercerita, saya minta maaf pada beberapa pihak karena tidak bisa menghadiri undangannya seharian ini. Kebetulan ada “tabrakan” jadwal dengan suatu acara yang cukup langka terjadi; kampus FISIPOL – UGM akan disambangi oleh KPK, ICW, dan Pukat Korupsi sekaligus. Kebetulan pula, acara tersebut berlangsung sejak pagi hingga sore. Mohon maaf dan semoga mengerti…

Pada hari ini, hari Selasa tanggal 25 Oktober 2011 ini, Yogyakarta telah menjadi saksi sejarah dan wadah awal atas rangkaian acara bertema anti korupsi nantinya. Saya sendiri pun tidak menyangka. Pada pagi hari yang cerah tadi, saya bersemangat menuju kampus. Tak lain dan tak bukan karena ada acara bertema anti korupsi tersebut. Ya, saya memang memiliki kegandrungan akan masalah tersebut, karena saya merasa korupsi adalah salah satu penyebab Indonesia mengalami suatu paradoks. Indonesia adalah negara yang kaya raya, tapi banyak sekali rakyatnya hidup di bawah garis kemiskinan.

Saya sudah sampai di ruang seminar sekitar 5-10 menit sebelum jadwal acara dimulai. Dalam hal ini, bukan karena saya yang terlalu bersemangat, tapi karena saya menerapkan suatu hal positif dari orang-orang Barat; tepat waktu. Sungguh aneh bukan, kalau kita suka memakai jas dan mempelajari bahasa Inggris, tapi sikap profesionalisme mereka tidak sekalian ditiru juga?

Acara Lokakarya Zero Tolerance Against Corruption : Agenda Aksi Pemuda Dalam Memberantas Korupsi Di Indonesia baru dimulai hampir satu jam kemudian dari tolak ukur jadwal di poster. Meski demikian, alhamdulillah para panitianya cukup kreatif dan antisipatif dengan sudah menyediakan coffee break. Bagi saya, tidak apa-apa coffee break disiapkan bahkan sebelum acara, jikalau memang diperlukan untuk mengisi “kekosongan”. Kebetulan pula, saat saya “sarapan gratisan” tersebut, saya sempat diskusi sebentar tentang fenomena korupsi di Indonesia dengan alat analisis sistem negara di Belanda, Jerman, dan Jepang. Ada hal yang cukup lucu, ternyata saat itu saya sedang diskusi dengan sang moderator acara. Serba kebetulan. Saya dan beliau mengambil tempat duduk yang sama untuk menikmati coffee break.

Singkat cerita, sesi pertama diisi dengan dahsyat oleh dua narasumber; Bu Ilian dan Pak Mochtar. Sama-sama menggunakan metode presentasi. Keduanya sih menurut saya hampir sama perspektifnya, hanya berbeda data acuan saja. Sungguh, banyak informasi yang sama sekali baru buat saya pribadi, tentunya mencengangkan nalar logika saya. Semisal indeks keberhasilan pemberantasan korupsi yang begitu dibanggakan Presiden SBY, ternyata bersandar dari nilai indeks sebesar 2,8 poin dari skala 10 poin. Presiden SBY begitu bangga karena naik 0,8 poin dari tahun sebelumnya! Saat itu saya tertawa miris. Keduanya memberikan presentasi yang membuat saya merinding, apalagi sempat terlontar kata-kata “Indonesia sedang menuju negara yang bangkrut”. Saya cemas memikirkan imbas hal itu terhadap nasib puluhan jutaan anak kecil, orang cacat, dan orang jompo. Belum lagi akan kemungkinan terjadinya perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, dan tindak kriminal lainnya akibat suasana chaos.

Dengan dimoderatori Pak Drajad, sesi pertama tetap berjalan seru, efisien, dan tidak melebar. Ada 4 peserta lokakarya yang diberikan kesempatan untuk bertanya. Termin tanya-jawab tidak saya gunakan. Saya lebih sibuk mencatat poin-poin penting dan sedikit mengembangkannya langsung. Mumpung masih terpikir. Sesi pertama pun selesai dan sekitar 75 peserta lokarya dari berbagai universitas/lembaga di Indonesia dipecah menjadi tiga panel. Entah itu mahasiswa S1, S2, dosen, atau aktivis anti korupsi, semua dianggap sama lalu dikelompokkan. Saya masuk panel 2.

Masing-masing panel bertempat di suatu ruangan terpisah. Setiap panel diberi satu pemandu untuk memfasilitasi diskusi. Pada titik ini, saya menapresiasi posittif sistem panel ini. Benar, untuk menciptakan forum diskusi yang baik, salah satu syarat mutlaknya adalah “sedikit orang saja”. Sedikit menyinggung materi kuliah saya di Jurusan Ilmu Komunikasi, teori efektivitas komunikasi memang seperti itu. Bahasa sederhananya; lebih sedikit, lebih baik.

Di panel 2, kami memulai diskusi dengan pantikan “Indonesia Impian” dalam 5 kata. Dalam kesempatan itu, saya pun menulis; Adil, Sejahtera, Relijius, Damai, dan Aman. Saya pun memberi tambahan catatan “sebenarnya ini adalah penjabaran Pancasila. Indonesia Impian saya adalah Indonesia yang Pancasilais”. Pemateri pun tertawa ringan membaca tulisan saya. Ternyata maksud pantikan itu adalah langkah awal brainstorming. Semua telah dibaca pemandu dan dianalisis. Kami pun diajak berpikir “kenapa hal itu tidak terjadi?”. Kami pun disuruh merumuskan konsep langkah-langkah solutif untuk mewujudkan “Indonesia Impian” itu. Kami pun saling mengkritisi masing-masing konsep yang terlempar di forum.

Setelah sesi kedua selesai, kami pun diberi jeda istirahat untuk lunch. Alhamdulillah, kelelahan saya bisa sedikit terobati oleh makan siang yang—bagi saya—spesial itu. Ada menu bakmi goreng pedas tapi manis dan udang goreng ukuran jumbo! Saya menyukainya dan berharap istri saya nantinya bisa memasak menu itu. Apalagi saya makan siangnya bersama seorang teman sesama aktivis pers mahasiswa. Kebetulan dia satu jurusan dengan saya, jadi bisa ngobrol banyak hal, tentunya selain masalah korupsi di Indonesia. Benar-benar waktu istirahat!

Sesi ketiga pun dimulai. Sesi ketiga adalah presentasi penyampaian hasil diskusi masing-masing panel tadi oleh seorang wakil. Setelah wakil panel 1 presentasi, giliran panel 2 alias panel yang saya ikuti. Karena masih belum jelas siapa yang jadi wakilnya, di-switch dulu ke wakil panel 3. Saat sedang asyik mendengarkan presentasi, tiba-tiba saya disenggol seseorang dari belakang. “Mas, Anda yang jadi wakil panel 2,” kata orang tersebut. Saya pun melihat ke belakang, ke tempat kerumunan para mantan anggota panel 2 lainnya. Saya pun bicara jarak jauh dengan bahasa isyarat pada beberapa orang yang menurut saya dominan juga di diskusi panel tadi. Mereka semua mengangguk dan memberi isyarat tangan monggo sampeyan mawon (silakan Anda saja). Saya pun panik, saya tidak ada persiapan.

Berbekal kerangka presentasi yang saya buat dan doa yang saya ucapkan secara kilat, saya pun berani maju ke depan. Jujur, itu pengalaman saya pertama kali, bicara di depan publik yang isinya bukan cuma mahasiswa selevel. Saya agak takut awalnya, karena saya akan bicara di depan banyak orang hebat. Saya cuma mahasiswa biasa-biasa saja. Ada mahasiswa S1, S2, dosen, dan para aktivis anti korupsi dari berbagai lembaga. Ini sudah bukan seperti biasanya. Saya takut presentasi saya “dibantai”, apalagi ditertawakan seisi ruangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun