Mohon tunggu...
H.D. Silalahi
H.D. Silalahi Mohon Tunggu... Insinyur - orang Tigarihit

Military Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

China Siap Perang, Bagaimana Reaksi AS dan ASEAN

18 September 2020   23:37 Diperbarui: 18 September 2020   23:40 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Armada Kapal Perang AS (sumber asiatoday.id)

Mengutip laman media CNBC Indonesia, media corong Partai Komunis China, Global Times, dalam editorial khusus, menyebutkan China siap menghadapi AS dan ASEAN, bilamana terjadi konflik militer di Laut China Selatan. Di dalam editorial tersebut, China menuduh AS menghasut negara-negara ASEAN, untuk bergabung dengan koalisi yang digalang oleh AS untuk menghadang ambisi China di Laut China Selatan. Pernyataan sikap terbaru dari China ini, merupakan tanggapan atas pagelaran Latihan Militer AS yang bertajuk "Valiant Shield" di Guam, Kepulauan Pasifik.

Langkah China kali ini, boleh dibilang merupakan langkah berani dan cerminan rasa percaya diri pemimpin China Xie Jin Ping. Bagaimana tidak, saat ini, China berpotensi terlibat konflik militer pada tiga wilayah perbatasan China secara bersamaan. Untuk diketahui, selain berkonflik dengan Amerika Serikat dan kawan-kawan di Laut China Selatan, China juga sedang menghadapi konflik perbatasan dengan India di sisi barat serta Jepang di sisi utara. Tambahan pula, kedua negara ini, India dan Jepang  bukan negara ecek-ecek, keduanya dapat dikategorikan sebagai kekuatan regional di Benua Asia.

ASEAN

Laut China Selatan (sumber : CIA)
Laut China Selatan (sumber : CIA)

Sebagai perhimpunan negara yang paling berkepentingan dengan situasi di Laut China Selatan, posisi ASEAN memang menarik bagi AS dan China. Tidaklah mengherankan, kedua negara besar ini selalu berlomba untuk menarik negara-negara ini agar masuk ke area pengaruhnya. Ketiadaan profil pemimpin ASEAN yang kuat, yang diakui seluruh negara anggota seperti di era Soeharto, Ferdinand Marcos dan Raja Bhumibol Adulyadej, Lee Kwan Yew, membuat setiap negara ASEAN tidak pernah satu suara dalam menyikapi masalah di Laut China Selatan.

Selain itu, hubungan ekonomi dengan China membuat sebagian negara anggota ASEAN enggan bersikap tegas menyikapi aksi ekspansionis China di Laut China Selatan. Mereka khawatir dengan aksi balasan China di sektor ekonomi. Bagaimanapun juga kerjasama ekonomi dan transaksi -ekspor -impor dengan China, sangat membantu kelangsungan ekonomi negara-negara ini. Makanya, sebagian negara ASEAN seperti Kamboja, Myanmar dan Thailand sudah masuk "hemisphere" China. Tidak heran, ke-3 negara cenderung menolak bilamana ASEAN mengeluarkan komunike bersama yang merugikan kepentingan China, demikian juga sebaliknya. 

Bagaimana dengan Indonesia? Seiring sikap China yang semakin sering melakukan provokasi di Laut Natuna., akhir-akhir ini, sikap Indonesia kelihatannya semakin tegas menghadapi China. Tetapi Indonesia kelihatan masih ragu untuk berpihak kepada koalisi yang digalang AS dalam penerapan kebebasan bernavigasi di Laut China Selatan.

Hal ini tercermin dari pernyataan Menlu, Retno Marsudi dalam perhelatan konferensi virtual para Menteri Luar Negeri ASEAN dan negara mitra baru-baru ini. Dalam kesempatan tersebut, Retno Marsudi menegaskan bahwa tidak ada yang perlu didiskusikan dengan China perihal ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara. Di sisi lain, beliau juga menegaskan, Indonesia tidak akan memilih salah satu diantara kedua negara, AS dan China, dalam sengketa Laut China Selatan.

Dalam hal ini sikap Indonesia hampir sama dengan Malaysia, kendatipun sikap Malaysia ini lebih didasari oleh kepentingan ekonomi. Negara Melayi ini sudah terjebak dalam perangkap utang China.

Nah,  sikap ambigu kedua negara besar di perhimpunan negara-negara Asia Tenggara ini, tidak diikuti oleh Vietnam dan Filipina. Dalam perhelatan itu juga, kedua negara memutuskan untuk menentang China dan menyambut positif langkah AS dalam rangka penegakan kebebasan bernavigasi di Laut China Selatan.

Amerika Serikat, India, Jepang dan Australia.

Sikap AS dalam berhubungan dengan China, cukup berbeda dimasa Pemerintahan Donal Trump. Pendekatan lunak yang diterapkan Rezim Barrack Obama sudah ditinggalkan. Pendekatan Obama ini memang memberikan ruang bagi China untuk diam-diam mengubah negara ini menjadi calon penantang hegemoni AS di dunia.

Melihat situasi ini, Pemerintahan Trump memilih jalan yang tegas dan keras, selain tensi yang panas cukup panas di LCS, China dan Amerika juga sudah berselisih dalam Perang Dagang dan pendekatan kebijakan menghadapi pandemi Covid19.

Nah, di LCS AS berusaha untuk menggalang dukungan dari kekuatan regional seperti Jepang, India dan Australia. Selain itu, AS juga cukup agresif dalam mendekati negara-negara yang tergabung di ASEAN. Keagresifan AS ini dapat dimaklumi, mengingat China sudah lebih dulu melangkah dalam menarik dukungan ASEAN dalam sengketa LCS.

Nah, Ke-4 negara AS, Jepang, India dan Autralia, sudah memutuskan akan menghadang keinginan China menguasai Laut China Selatan. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan frekwensi latihan militer bersama di Laut China Selatan. Mereka sepertinya sadar, bahwa keinginan China mengklaim 90% wilayah Laut China Selatan adalah langkah awal mewujudkan ambisi global negeri Panda ini. Kendatipun begitu, belum ada pernyataan resmi dari negara-negara ini dalam menyikapi pernyataan China ini. Tetapi melihat gelagat dan persiapan yang sudah dilakukan, ke-empat negara ini sudah bersiap apabila terjadi konflik militer dengan China.

Langkah Indonesia Menyikapi Sengketa Laut China Selatan.

Melihat tensi yang semakin meningkat, menjadi penting bagi Indonesia untuk mencermati setiap gerak langkah China di Laut China Selatan. Ada kecendrungan sikap gegabah China ini lebih banyak dilatar belakangi pertarungan politik Xi Jinping di internal Partai Komunis China.

Silk Road via Laut dan Darat (sumber : The Economist)
Silk Road via Laut dan Darat (sumber : The Economist)

Meskipun sangat sulit mendapat informasi yang terverifikasi dari internal pemerintahan China karena pembungkaman pers disana, tetapi isu yang sudah beredar luas, sikap keras Xi Jinping ini banyak dilatar belakangi oleh keinginan Xi untuk megembalikan pengaruhnya di internal Partai Komunis. Nama Xi Jinping memang agak tercoreng akibat keterlambatan respons awal Sekretaris PKC ini dalam menyikapi tahap awal Pandemi Covid19 di Wuhan, respons dan ketidakhadiran beliau di Wuhan cukup menjadi sorotan di internal Partai Komunis China.

Selain itu ambisi besar Xi Jinping untuk segera mewujudkan "jalur sutra" lewat darat dan Laut semakin kelihatan dari kebijakan politik luar negeri China yang semakin keras menyikapi klaim Laut China Selatan dan masalah perbatasan dengan India.

Untuk menyikapi situasi yang semakin genting ini, sudah waktunya Indonesia mempertimbangkan opsi untuk memilih salah satu dari 2 kekuatan besar ini. China atau Amerika Serikat. Bagaimanapun juga, potensi kekuatan militer Indonesia belum dapat mengimbangi hegemoni China dan AS di kawasan Laut China Selatan.

 Amanah Undang-undang dasar 1945 yang menggariskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, mungkin menjadi satu pertimbangan bagi pemerintah agar tetap bersifat netral. Tetapi, pemerintah tidak boleh lupa, meskipun bersifat bebas dan aktif, Indonesia diizinkan untuk memilih tidak netral sepanjang demi  Kepentingan Nasional  dan Keselamatan bangsa.  Lagipula, bukannya di era perang dingin, Indonesia sudah pernah memilih kebijakan luar negeri yang memihak yaitu lebih memilih blok barat. Artinya, kebijakan untu memilih pihak yang lebih menguntungkan aspek kepentingan bangsa Indonesia tidak melanggar cita-cita luhur pendiri bangsa ini.

Tetapi apapun itu, semoga opsi  yang dipilih Pemerintah, sudah mempertimbangkan kekuatan dan potensi bangsa demi kepentingan nasional dan keberlangsungan bangsa ini kedepan.

Salam

i

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun