Mohon tunggu...
Don Zakiyamani
Don Zakiyamani Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Kopi Senja

personal web https://www.donzakiyamani.co.id Wa: 081360360345

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Melawan Kompasiana

22 Oktober 2017   18:41 Diperbarui: 22 Oktober 2017   19:19 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: dok.pribadi

Ketika Kompasiana menanyakan kenangan selama berkompasioner, saya tak ragu menuliskan pengalaman yang tak enak ini. Bagi saya, menulis harus jujur tak perlu pencitraan demi hadiah dan penghargaan. Milad ke-9 Kompasiana ini, saya tak ragu menuliskan pengalaman tidak harmonis dengan Kompasiana.

Saya percaya kali ini Kompasiana dapat menerima kritikan, dan tidak menggugat tulisan saya ke ranah hukum. Ketika menulis menjadi kebutuhan, rasanya ada yang hilang bila sehari saja tak menerbitkan tulisan. Walaupun tulisan terkadang tak diterbitkan media bukan berarti menulis harus dihentikan. Selain menjadi media untuk belajar menulis, Kompasiana menurut saya tempat yang murah meriah untuk menyampaikan ide dan gagasan. Pengikut Kompasiana yang beragam dan ribuan menjadi salah satu alasan saya menulis di Kompasiana.

Dasar itulah yang membuat saya menuliskan artikel saya yang berjudul; ‘Negara Gagal, Aceh Harus Merdeka’. Pandangan saya tentunya akan bisa dibaca banyak orang, termasuk rakyat Aceh dan berharap sampai ke meja kopi pemimpin bangsa ini. Sayang tulisan saya hanya bertahan tak lebih dari 30 menit. Saya kesal, sedikit marah namun selalu ada berkah dibalik kejadian itu.

Sumber foto: dok.pribadi
Sumber foto: dok.pribadi
Melalui senior dalam tulis menulis saya minta artikel yang dihapus redaksi Kompasiana agar diterbitkan medianya. Tapi dia tak ingin cepat-cepat menerbitkannya, dia bertanya mengapa dihapus. Saya kirimkan captured alasan dari pihak kompasiana menghapus artikel saya. Ternyata tak lama setelah itu ia menerbitkan news dengan judul ‘Tulisan Aneuk Aceh Ini Di Delete Redaksi Kompasiana, Ini Alasannya’. Saya bertanya-tanya pada beliau mengapa menjadikannya. Katanya,”biarkan saja, nanti para penulis lain bakal mengomentarinya.”

Benar saja, tak lama setelah berita itu tersebar di sosial media, setidaknya dua penulis mengomentarinya. Penulis buku ”Hasan Tiro, Jalan Panjang Menuju Damai Aceh,”Murizal Hamzah. Selain beliau, tulisan tersebut juga dikomentari Usamah El Madny, penulis Aceh lainnya. Keduanya memiliki pandangan yang berbeda, Murizal Hamzah membenarkan tindakan Kompasiana. Menurutnya itu hak redaksi, Media, menurutnya, punya pandangan tersendiri tentang tulisan, dan bisa jadi artikel yang di delete dipandang mengandung SARA.

Sementara itu Usamah El Madny berpendapat lain, katanya Pikiran tidak pantas diadili yang berujung penghapusan. “Hanya rezim otoritarian yang mengadili dan memberangus pikiran. Katolik roma saja telah mintaa maaf karena pernah mengadili pemikiran di masa lalu,”. Menurutnya sikap redaksi terlalu terburu-buru, padahal bisa jadi pemikiran penulis bisa terbantah oleh artikel penulis lainnya.

Bagi saya kedua komentar itu ada benarnya, baik yang pro ke redaksi Kompasiana maupun yang pro ke saya. Poin yang dapat saya ambil dari peristiwa Mei 2016 tersebut adalah bahkan redaksi mapan dengan syarat pengalaman sekalipun bisa sensitif, tidak bermaksud membela diri, namun poin tulisan saya ialah merdeka secara hakiki bukan berpisah secara geografis sebagaimana yang dilakukan GAM.

Terkait bulan bahasa (Oktober), saya juga memandang bahwa konflik selalu dimulai dari pemahaman bahasa yang berbeda. Baru-baru ini misalnya, kata ‘pribumi’ menjadi polemik panjang bangsa Indonesia. Konflik isme, dan konflik dibelahan dunia lainnya termasuk pemahaman redaksi Kompasiana dan saya yang berbeda. Saya percaya, judul tulisan saya lumayan provokatif sehingga diawal tulisan saya klarifikasi.

Sejak peristiwa itu, hubungan saya dan Kompasiana seperti hubungan AS-Rusia. Berkali-kali saya minta penjelasan lebih lanjut namun tak kunjung dapat jawaban. Sejenak berhenti, namun belakangan ini setelah pilkada selesai, saya kembali intim dengan Kompasiana. Saya lebih hati-hati memilih diksi untuk judul, tidak tahu apakah tulisan ini termasuk melanggar. Bila Kompasioner membacanya, berarti tulisan ini sudah melewati moderasi Kompasiana.

Sejauh ini saya sudah mengajak beberapa junior di kampus untuk menulis di Kompasiana. Alasan sederhana, selain viewernya banyak, semua tulisan bakal diterbitkan. Ini berbeda dengan beberapa media sejenis Kompasiana yang menerapkan minimal 500 kata dan syarat tekhnis penulisan lainnya. Bagi penulis pemula, Kompasiana memang “kampus” terbaik, selamat Milad ke-9 Kompasiana. Semoga kedepan Kompasiana terus melakukan pembenahan-pembenahan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun