Ketika Kompasiana menanyakan kenangan selama berkompasioner, saya tak ragu menuliskan pengalaman yang tak enak ini. Bagi saya, menulis harus jujur tak perlu pencitraan demi hadiah dan penghargaan. Milad ke-9 Kompasiana ini, saya tak ragu menuliskan pengalaman tidak harmonis dengan Kompasiana.
Saya percaya kali ini Kompasiana dapat menerima kritikan, dan tidak menggugat tulisan saya ke ranah hukum. Ketika menulis menjadi kebutuhan, rasanya ada yang hilang bila sehari saja tak menerbitkan tulisan. Walaupun tulisan terkadang tak diterbitkan media bukan berarti menulis harus dihentikan. Selain menjadi media untuk belajar menulis, Kompasiana menurut saya tempat yang murah meriah untuk menyampaikan ide dan gagasan. Pengikut Kompasiana yang beragam dan ribuan menjadi salah satu alasan saya menulis di Kompasiana.
Dasar itulah yang membuat saya menuliskan artikel saya yang berjudul; ‘Negara Gagal, Aceh Harus Merdeka’. Pandangan saya tentunya akan bisa dibaca banyak orang, termasuk rakyat Aceh dan berharap sampai ke meja kopi pemimpin bangsa ini. Sayang tulisan saya hanya bertahan tak lebih dari 30 menit. Saya kesal, sedikit marah namun selalu ada berkah dibalik kejadian itu.
Benar saja, tak lama setelah berita itu tersebar di sosial media, setidaknya dua penulis mengomentarinya. Penulis buku ”Hasan Tiro, Jalan Panjang Menuju Damai Aceh,”Murizal Hamzah. Selain beliau, tulisan tersebut juga dikomentari Usamah El Madny, penulis Aceh lainnya. Keduanya memiliki pandangan yang berbeda, Murizal Hamzah membenarkan tindakan Kompasiana. Menurutnya itu hak redaksi, Media, menurutnya, punya pandangan tersendiri tentang tulisan, dan bisa jadi artikel yang di delete dipandang mengandung SARA.
Sementara itu Usamah El Madny berpendapat lain, katanya Pikiran tidak pantas diadili yang berujung penghapusan. “Hanya rezim otoritarian yang mengadili dan memberangus pikiran. Katolik roma saja telah mintaa maaf karena pernah mengadili pemikiran di masa lalu,”. Menurutnya sikap redaksi terlalu terburu-buru, padahal bisa jadi pemikiran penulis bisa terbantah oleh artikel penulis lainnya.
Bagi saya kedua komentar itu ada benarnya, baik yang pro ke redaksi Kompasiana maupun yang pro ke saya. Poin yang dapat saya ambil dari peristiwa Mei 2016 tersebut adalah bahkan redaksi mapan dengan syarat pengalaman sekalipun bisa sensitif, tidak bermaksud membela diri, namun poin tulisan saya ialah merdeka secara hakiki bukan berpisah secara geografis sebagaimana yang dilakukan GAM.
Terkait bulan bahasa (Oktober), saya juga memandang bahwa konflik selalu dimulai dari pemahaman bahasa yang berbeda. Baru-baru ini misalnya, kata ‘pribumi’ menjadi polemik panjang bangsa Indonesia. Konflik isme, dan konflik dibelahan dunia lainnya termasuk pemahaman redaksi Kompasiana dan saya yang berbeda. Saya percaya, judul tulisan saya lumayan provokatif sehingga diawal tulisan saya klarifikasi.
Sejak peristiwa itu, hubungan saya dan Kompasiana seperti hubungan AS-Rusia. Berkali-kali saya minta penjelasan lebih lanjut namun tak kunjung dapat jawaban. Sejenak berhenti, namun belakangan ini setelah pilkada selesai, saya kembali intim dengan Kompasiana. Saya lebih hati-hati memilih diksi untuk judul, tidak tahu apakah tulisan ini termasuk melanggar. Bila Kompasioner membacanya, berarti tulisan ini sudah melewati moderasi Kompasiana.
Sejauh ini saya sudah mengajak beberapa junior di kampus untuk menulis di Kompasiana. Alasan sederhana, selain viewernya banyak, semua tulisan bakal diterbitkan. Ini berbeda dengan beberapa media sejenis Kompasiana yang menerapkan minimal 500 kata dan syarat tekhnis penulisan lainnya. Bagi penulis pemula, Kompasiana memang “kampus” terbaik, selamat Milad ke-9 Kompasiana. Semoga kedepan Kompasiana terus melakukan pembenahan-pembenahan.