Bulan ini (Oktober) kita telah memasuki tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Berdasarkan keterangan dari penyelenggara pemilu, tahapan dimulai dengan pendaftaran parpol peserta pemilu 2019. Nantinya parpol akan diverifikasi dan ditetapkan sebagai peserta pemilu 2019 sekitar Maret 2018. Namun tahukah kita bahwa pemilu setiap lima tahun ternyata menghabiskan dana yang tidak sedikit, bahkan kita termasuk negara paling boros dalam mengeluarkan biaya pemilu.
Tahun 2009 setidaknya Rp 13 triliun kita keluarkan untuk pemilu, angka ini kembali naik pada pemilu 2014 menjadi Rp 16 triliun. Pengeluaran yang tidak sedikit itu ternyata tidak sebanding dengan outputyang kita dapatkan. Para anggota dewan, dari pusat hingga daerah masih melakukan korupsi yang kembali merugikan negara. Kita ambil contoh survei yang dilakukan  Lembaga konsultan media dan politik "Panggung Indonesia", menurut mereka 80 persen anggota DPRRI berkinerja buruk (KOMPAS.com, 16/8/2017).
Tahun ini pemerintah menaikkan dana untuk parpol sebesar 1.000 per suara, angka ini naik sepuluh kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 108 per suara. Bantuan ini menurut Sri Mulyani lebih kecil dibandingkan yang diajukan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yakni Rp 1.071 per suara. Namun demikian angka 1.000 per suara tetap saja menjadi beban APBN kita, artinya bukan angka yang kecil bila dibandingkan dengan kinerja parpol selama ini. Parpol belum memiliki sistem rekrutmen yang ketat sehingga masih banyak anggota mereka yang melakukan korupsi.
Bukan hanya mahal dalam penyelenggaraan, para peserta pun harus merogoh kocek yang lumayan. Angka minimal Rp 300 juta setidaknya harus dikeluarkan seorang caleg DPR Tingkat II. Semakin tinggi level DPR dan jumlah pemilih, semakin besar pula dana yang dikeluarkan seorang caleg.
Dana yang dikeluarkan tidak termasuk suap kepada konstituen. Suap biasanya berupa paket sembako, pakaian maupun uang tunai. Tanpa suap seorang caleg akan sulit menang. Tradisi ini masih bertahan sehingga anggota dewan yang terpilih cenderung melakukan korupsi untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan.
Beberapa parpol kita juga menerapkan regulasi sumbangan per bulan. Walaupun telah dibantu dengan APBN, iuran rutin dari legislatif terpilih tetap dilakukan. Ini terkait kebutuhan parpol dalam menjalankan agendanya. Caleg terpilih dengan sendirinya memiliki 3 beban, pertama mengembalikan uangnya yang habis dimasa pemilihan, kedua membayar iuran partai dan melaksanakan janji kepada konstituen.
Bagaimana dengan caleg yang kalah? Banyak kita jumpai kasus mereka menjadi sakit jiwa. Hal ini terkait politik uang yang mereka lakukan namun kalah. Ada caleg malah meminta kembali bantuan yang telah diberikan kepada masyarakat. Kejadian yang sama juga sering dialami kandidat kepala daerah yang kalah. Mahalnya cost politics disebabkan peserta dan pemilih sudah terjangkit materialisme.
Politik kita adalah proyek demokrasi