Mohon tunggu...
Indonesia Happy People
Indonesia Happy People Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Orang Indonesi yang bahagia dan bergembira dalam proses menjadi bagian dari upaya membangun kembali Indonesia Raya

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Logika Sederhana Ambisi Infrastruktur Jokowi

22 Oktober 2018   17:25 Diperbarui: 22 Oktober 2018   17:33 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://orangindonesiabahagia.blogspot.com

Logikanya tidak akan ada yang sejutu bila dikatakan pembangunan infrastruktur tidak penting. Pembangunan insfrastruktur sangat penting untuk keberlangsungan berbagai sendi kehidupan bangsa kita. Namun, ambisi berapi-api Jokowi memaksa hingga memeras segala yang bisa membiayai hasrat yang dikatakan penuh muslihat ini melahirkan kenyataan miris, pengelolaan kekuasaan menyamar pengelolaan negara.

Hingga saat ini, orang-orang yang diutus untuk menjadi mulut-mulut Jokowi dalam memastikan kelanjutan aksi kuasa mereka masih sangat bangga memakai modal infrastruktur sebagai bahan jualan, walau sebagian pihak menyebut ambisi infrastruktur rezim ini ugal-ugalan. Mulai dari indikasi penggunaan dana haji, dana BPJS sejumlah 73 T yang disebut telah diinvestasikan ke ambisi Infrastruktur, hutang yang tidak terkontrol.

Bila orang-orang Jokowi yang rajin nampang di media masih doyan pamer opini bahwa insfratruktur karya Jokowi adalah demi pembangunan ekonomi dan keberlangsungan hidup rakyat yang lebih baik, maka berbohongkah INDEF saat mengatakan tujuan untuk menyokong ekonomi lewat produksi dan efisiensi tidak terjadi juga di kita. Biaya transportasi naik, transaksi naik, harga naik, inflasi juga tinggi. Artinya, memang infrastruktur ini belum bisa mendorong efisiensi.

Semangat gunting pita Jokowi berjalan terbalik dengan semangat mewujudkan spirit baik yang sebenarnya harus tercipta dari hebohnya pembangunan infratstruktur. Upaya menggenjot kualitas perekonomian mungkin tak senikmat genjotan infrastruktur bersifat proyek bagi pemerintahan kini. Bahkan menabrak resiko-resiko yang mungkin terjadi. 

Tak usah lah jauh membahas resiko keuangan yang belum tentu kita semua pahami, dengan mudah kita lihat bagaimana ketidaksiapan negara secara keuangan dalam menghadapi kemungkinan kebutuhan dana besar seperti penanggulangan bencana.

Pemerintah seakan tutup mata dan telinga akan kritik dari banyak pihak. Bahkan dari kritik yang ada, Jokowi terkesan sangat mandja karena orang-orangnya sibuk mengktitik kritik. Saat kekhawatiran akan bahaya ambisi infrastruktur yang miskin perencanaan dan leadership mengancam masa depan kedaulatan.

 Saat pemerintah hanya sekelas mandor proyek-proyek kontrakan yang cuma punya konsep yang penting bangun saja dalam urusan infrastruktur ini. Contoh bangganya jalan trans Papua, tapi tidak memberi dampak berarti saat tidak ada yang lewat situ. Bermegah-megahan di fasilitas yang setelah diresmikan malah jadi sekedar hiasan.

Untuk kasus Papua ini misalnya, sebelum jalan itu, harusnya pemerintah membangun tatanan ekonomi masyarakatnya dulu seraya memperispakan infrastruktur yang mumpuni. 

Bagaimana meningkatkan daya produksi masyarakat hingga jalan yang sepi itu tidak hanya jadi jalur barang masuk tapi bisa memperlancar distribusi dari hasil produksi disana. Kan gitu, kalau emang mau membangun, kalau bangunan fisik saja, tidak usah presiden asal punya duit siapa saja bisa, apalagi bukan duit sendiri.

Melihat kejanggalan ambisi yang sampai segitunya, bahkan november 2017 lalu, asia.nikei.com memberi peringatan pula, Indonesia lives dangerously with $355bn infrastructure drive. 

Disinggung pula soal,received a 3.5 trillion rupiah equity injection from Taspen, ya selain sumber injeksi yang sempat kita singgung diawal tadi, uang pensiun pun ikut dicumbu paksa. Kemudian yang juga menarik adalah keterangan Faisal Basri, Dosen Ekonomi UI di bahasan Asian Nikei, "Jokowi's style is 'just do it' ... [and] if something goes wrong we can make corrections," said Faisal Basri, an economics lecturer at the University of Indonesia, using the president's nickname. "No one is checking. It is becoming uncontrollable."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun