"UDAH, BRO! BANTAI AJA UDAH! KALO PERLU SAMPAI DIBUNUH AJA!"
"Eh, bro Tino, jangan bunuh gitu. Kerjaan kita hanya membantai saja, kalo yang mencabut nyawa, biar kerjaan malaikat aja. INTINYA, UNTUK SEKARANG, GUE KUTUK LO GA BAKALAN SUKSES SEUMUR HIDUP!"
Seketika pukulan mentah pun mendarat di beberapa bagian tubuhku. Aku pun mencoba menahan segala sakit yang kuperoleh dari fitnah yang beredar ini. Fisik dan mental. Ya, aku ternyata difitnah oleh seseorang yang kelak akan menjadi partner dalam menjalankan beberapa artikel di Dewan Pers Fakultas ini. Ternyata, dia tidak mau menjadi partnerku dan memberikanku hukuman karena telah mengalahkannya.
Tuhan, kenapa ini harus terjadi padaku? Aku pun bingung harus berkata apa kali ini, Tuhan. Jika aku bicara dengan Amak dan Apak, mungkin mereka akan malu sekali denganku.
Mungkin saja, mereka akan memutuskan tali keluarga yang telah dibina semenjak aku lahir.
Amak, Apak, maafkan anakmu yang telah difitnah ini dan telah dicap orang penuh dosa ini.
Amak, Apak, maafkan anakmu yang sudah mempermalukanmu di depan umum.
Amak, Apak, tolonglah aku. Percaya, bahwa anakmu ini tidak bersalah.
Anakmu hanyalah korban kejutan budaya di kota ini. Entah, apakah memang anak kampung selalu terlihat bodoh dan kenapa aku sangat bodoh menerima tawaran damai dari Tino yang ternyata disisipi rencana busuk itu. Tuhan, semoga dia segera diberikan balasan yang setimpal atas segala perbuatannya padaku. Atau mungkin, oleh orang lain jika ada.
Aku pun berjalan dengan air mata bercampur darah menyesali segala kebodohan dan kepolosanku. Menyesali kenapa semua ini harus terjadi padaku.
OoOoOoOoOoOoO