“Aku cinta... anda cinta... semua cinta... buatan Indonesia....Ooohhh...,” kurang lebih demikian potongan lagu Bimbo yang hingga kini masih sangat saya ingat. Mereka yang pernah menikmati siaran TVRI di era 1980an pasti familiar dengan lagu yang menjadi jingle pembuka acara “Apresiasi Film Indonesia,” salah satu program unggulan di TV plat merah itu.
Sesuai dengan tema lagu pembukanya, program siar yang tayang setiap Sabtu malam itu memberikan informasi terbaru seputar dunia perfilman Indonesia dari berbagi aspek sekaligus mengajak pemirsanya untuk mengapresiasi film-film terbaru yang akan dan sedang tayang.
Demikian pesatnya produksi film nasional ketika itu sehingga diperlukan satu acara khusus yang dapat dijadikan panduan bagi penikmat film untuk memilih dan memilah film yang akan ditonton. Tentu saja selain untuk memenuhi kebutuhan penikmat film, acara ini juga menguntungkan insan perfilman sebagi media promosi yang efektif.
Era 80an bisa dibilang merupakan era kemajuan perfilman nasional, baik dari segi materi film yang diproduksi maupun jumlah bioskop tempat film-film tersebut diputar. Film-film terbaik dan fenomenal yang pernah dibuat era ini antara lain Tjoet Nja’ Dhien, Nagabonar, Saur Sepuh, Misteri Gunung Merapi hingga puluhan film Warkop DKI dan film komedi sejenis.
Hampir tiap minggu selalu ada judul film baru dirilis dan diputar di gedung bioskop besar. Tak berhenti disitu, film-film yang sudah diputar di gedung bioskop besar seperti Studio 21 yang muncul tahun 1987, kemudian diputar di gedung bisokop dadakan bertembok anyaman bambu tanpa atap di kampung-kampung. Kami di desa biasa menyebut bioskop yang diputar di alam terbuka ini “Misbar” alias gerimis bubar.
Saking banyaknya film yang diproduksi dan tingginya minat masyarakat untuk menonton film, pemutaran film menjangkau sampai ke pelosok desa dengan bioskop keliling. Selain pemerintah yang saat itu sering memanfaatkan media ini untuk menyampaikan program-programnya kepada masyarakat, pengusaha swasta juga memanfaatkan bioskop keliling untuk mempromosikan produknya.
Di era itu 80an menuju tahun 1990 itu saya masih anak-anak menuju remaja. Masih segar di ingatan ketika saya sering nonton film gratis “rame-rame” bersama teman-teman di lapangan desa. Meskipun yang diputar tentu saja bukan film baru, namun antusiasme masyarakat termasuk saya untuk menonton cukup tinggi.
Dengan beratap langit dan beralas koran sambil menikmati camilan kacang rebus dan gorengan kami sangat menikmati pemutaran film gratisan tersebut. Film-film yang diputar ketika itu terbilang menarik dan mudah dicerna masyarakat pedesaan seperti film komedi, musikal dangdut dan “action” tradisional.
Di era 1990an hingga menjelang tahun 2000 dunia perfilman Indonesia mengalami kemunduran jika tak mau dibilang mati suri. Dalam dekade tersebut jumlah film yang diproduksi nyaris bisa dihitung dengan jari demikian juga dengan minat penonton yang mengalami penyusutan. Di era ini industri film justru terselamatkan oleh film-film bertema horor, seks dan kombinasi keduanya yang dari segi materi sebenarnya cukup meresahkan.
Kemunduran perfilman nasional di era 1990an antar lain disebabkan mulai bermunculannya stasiun TV swasta dengan berbagai program siar variatif. Bahkan tak jarang stasiun TV swasta tersebut memutar film-film baru, baik itu film Hollywood maupun Bollywood. Munculnya teknologi VCD,LCD dan DVD yang menggusur pita VHS dan BetaMax juga ikut berperan mengubah trend penikmat film, dari penonton bioskop ke penonton rumahan dengan “home theatre”nya.
Jelang hingga memasuki era tahun 2000 industri perfilman nasional mulai menggeliat. Bisa dibilang kebangkitan film Indonesia era ini didominasi oleh orang-orang muda seperti Mira Lesmana, Riri Riza, Rudi Soedjarwo dan Rizal Mantovani. Film “Petualangan Sherina” (2000) dan “Ada Apa Dengan Cinta (A2DC) (2002) mendapat respon positif penikmat film dan sukses di pasaran.
Tahun 2001 dirilis film horor gaya baru karya anak negeri, “Jelangkung” dilanjutkan dengan sekuelnya yang juga sukses “Tusuk Jelangkung” (2003). Sejak itu produksi film nasional mengalami peningkatan meskipun masih didominasi genre horor, komedi dan remaja. Kemajuan perfilman nasional bisa kita rasakan hingga memasuki tahun 2015 ini.
Selain sukses di dalam negeri, tak sedikit film Indonesia yang sukses di luar negeri. Cukup banyak film karya anak bangsa yang menjadi “official selection” dan memenangkan penghargaan di berbagai festival film internasional. Tak sedikit pula yang sukses secara komersil di pasar film internasional hingga menembus pasar Hollywood.
Sebut saja kesuksesan “The Raid : Redemption” dan “The Raid 2 : Berandal” yang berhasil mencuri perhatian kritikus dan penikmat film dunia. Kedua film yang mengangkat seni beladiri tradisional Indonesia “pencak silat” ini demikian ramai dibahas di berbagai media internasional dan menjadi bahan perdebatan seru di jejaring sosial. Begitu besarnya antusiasme penikmat film membuat Hollywood tertarik untuk me-“remake” The Raid.
Tanpa mengurangi respek dan terima kasih atas go internationalnya film ini, sebagian kru vital dalam produksi film tersebut justru tenaga asing. Meski demikian, sudah sepantasnya kita patut bangga sudah ada film produksi Indonesia yang di apresiasi begitu luar biasa baik dari aspek komersial maupun kualitas oleh insan perfilman dunia termasuk Hollywood.
Jika kita kembali pada sejarah, keterlibatan dan dedikasi anak negeri dalam produksi perfilman nasional menjadi tonggak diperingatinya tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional. 30 Maret 1950 adalah hari pertama syuting film “Darah dan Doa” atau “Long March of Siliwangi” yang disutradarai Usmar Ismail dan merupakan film pertama bercirikan Indonesia. Selain itu film tersebut adalah film pertama yang disutradarai orang orang Indonesia asli dan diproduksi perusahan film Indonesia.
Di hari ulang tahunnya yang ke 65 ini tantangan yang dihadapi film nasional semakin besar sebab industri film dunia, terutama pemain besar seperti Hollywood dan Bollywood juga terus berbenah. Seperti halnya kita, mereka juga terus melakukan peningkatan kualitas guna menarik minat penonton untuk menikmati hasil karyanya.
Tema yang ditawarkan oleh film-film Hollywood semakin variatif, didukung kecanggihan teknologi spesial efek membuatnya semakin menarik untuk dinikmati. Kini film-film terbaru yang mereka produksi bukan sekedar tontonan gambar bergerak dua dimensi (2D) dan tiga dimensi (3D) namun sudah mulai menggunakan format IMAX 3D.
Bioskop yang mendukung format canggih ini juga semakin banyak bermunculan di kota-kota besar Indonesia. Sebut saja Cineplex 21 group sebagai jaringan bioskop terbesar di Indonesia dengan beberapa jaringannya seperti Cinema XXI, The Premiere dan IMAX. Tentu sangat disayangkan jika fasilitas dan teknologi canggih untuk menonton tersebut belum bisa dioptimalkan oleh film nasional.
Oleh karena itu teknologi perfilman terbaru juga harus dikuasai oleh insan film dalam negeri. Disamping itu insan perfilman kita juga dituntut semakin inovatif sehingga tema yang diangkat menjadi cerita semakin variatif dan tidak itu-itu saja. Dengan kata lain peningkatan kualitas film nasional mutlak dilakukan agar dapat bersaing dengan film asing sehingga benar-benar bisa menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.
Agar menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, film Indonesia harus dapat dinikmati dan dicintai oleh rakyatnya. Kenyataannya kini penikmat film semakin cerdas dan kritis sebagai dampak derasnya serbuan film asing dengan jaminan kepuasan menonton yang mereka tawarkan. Maka hanya film Indonesia berkualitaslah yang mampu bersaing untuk mengambil hati publik penikmat film tanah air.
Akhirnya pada peringatan Hari Film Nasional ke 65 ini, lagu Bimbo kembali menarik untuk dijadikan bahan refleksi : Apakah aku cinta, anda cinta dan semua cinta film Indonesia? Apakah film Indonesia memang sudah layak untuk kita nikmati dan cintai? Mari bersama kita temukan jawabannya...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI