Kita pasti pernah kesulitan membaca AL-Qur'an saat kecil dulu. Hal ini disebabkan misalnya karena ada huruf tumpuk atau tanda baca yang kurang jelas milik huruf yang mana. Tahun 2020 lalu, sebuah khatt (jenis huruf) atau biasa kita kenal sebagai font Al-Qur'an telah dirilis. Mengabadikan nama penciptanya font tersebut adalah Khatt-e-Manzoor (f0nt Manzur).
Beliau adalah Pir Manzur Muhammad (1866-1950). Dalam tradisi sufisme di Indo-Pakistan, pir berasal dari Bahasa Persia yang berarti 'sesepuh'. Menurut Gordon D. Nerby  (2002) dalam A Concise Encyclopedia of Islam, pir adalah gelar untuk pembimbing spiritual Sufi. Nama Manzur mengingatkan kita kepada penulis kamus Arab legendaris, Lisanul Arab, Ibnu Manzur. Pir Manzur Muhammad adalah salah satu dari sahabat dekat Pendiri Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as yang bertugas sebagai katib untuk buku-buku beliau. Pada tahun 1904, Pir Manzur Muhammad menyusun metode pengajaran bacaan Al-Qur'an untuk anak-anak yang dibukukan dengan judul Yassarnal Qur'an.Â
Al-Qur'an diterbitkan di seluruh dunia dalam berbagai font (jenis huruf). Demi alasan keindahan, banyak jenis huruf yang berusaha untuk mengisi ruang kosong dengan tanda diakritik (tanda baca) dari huruf lain dan simbol tambahan. Selain itu, huruf dan kata ditulis di atas satu sama lain yang dapat mengakibatkan tanda diakritik dari satu huruf muncul pada huruf yang berbeda. Hal ini menimbulkan kesulitan besar, terutama bagi anak-anak dan umat Islam yang baru belajar membaca Al-Qur'an, tulis Review of Religions.
Karena alasan inilah penyusun Yassarnal Qur'an tersebut bertekad menciptakan jenis huruf yang mana tanda baca hanya muncul pada huruf-huruf yang sesuai, sehingga lebih mudah untuk membaca Al-Qur'an bagi para pemula sekalipun. Tim editor Review of Religions (2020) mengutip langsung kata-kata sang Pir:
"Meskipun telah melakukan pencarian yang ekstensif, saya tidak dapat menemukan salinan Al-Qur'an di mana tanda diakritik hanya dikaitkan dengan huruf-huruf yang sesuai. Oleh karena itu, saya telah berniat untuk membuat kaligrafi salinan Al-Qur'an sesuai jenis huruf yang digunakan dalam Yassarnal Qur'an (buku panduan untuk mempelajari bacaan Al-Qur'an yang benar), di mana tanda diakritik hanya ditulis dengan huruf-huruf yang terkait dan tidak dipindah-pindah. Selain itu, kata-kata tersebut tidak akan ditulis di atas satu sama lain untuk memudahkan anak-anak dan Muslim pemula. Oleh karena itu, melalui kemampuan yang diberikan oleh Allah SWT, saya membuat kaligrafi salinan Al-Qur'an dan bagian-bagian tertentu yang dikaligrafi oleh tangan saya dengan gaya yang sama telah diterbitkan secara individual."
Mengutip sebuah tulisan di laman The Majestic Quran, What is the difference between the IndoPak and Uthmani scripts?, di dunia sekarang ini terdapat dua gaya penulisan Al-Qur'an yang banyak digunakan. Pertama adalah Utsmani atau Madani, dan yang keduanya IndoPak atau gaya Persia. Keduan tetap mengacu kepada rasm Utsmani, sedikit berbeda sedikit penulisn tanda-tanda diakritiknya. Berikut adalah contoh gaya penulisan keduanya.
Saya sendiri, sejak kecil terbiasa dengan font Al-Qur'an yang IndoPak. Apalagi Al-Qur'an cetakan tua di rumah kami dulu nampaknya termasuk Al-Qur'an Bombay, India. "Al-Qur'an Bombay merupakan mushaf paling populer. Sejak pertengahan abad ke-19, Al-Qur'an Bombay beredar luas di kawasan Asia Tenggara. Peredarannya dapat dilihat dari peninggalan mushaf India di beberapa tempat: Palembang, Demak, Madura, Bima, Malaysia, hingga Filipina Selatan. Bahkan, menurut I. Proudfoot, kepala Asian History Centre Australian National University, Australia, percetakan litograf (cetakan batu) Al-Qur'an pertama di Nusantara oleh Haji Muhammad Azhari ibn Kemas Haji Abdullah Palembang pada 1854 terinspirasi oleh percetakan Al-Qur'an di India," tulis Hendri F. Isnaeni dalam Riwayat Al-Qur'an Bombay.Â
Mustopa dkk dalam Jejak Mushaf Bombay di Indonesia, menulis bahwa peserta Mukernas ulama mengistilahkan mushaf tersebut dengan 'mushaf tahun 60-an'. Satu hal yang menarik adalah mengapa forum Mukernas Ulama Al-Qur'an lebih memilih 'mushaf tahun 60-an' yang merupakan mushaf cetakan Bombay, India, daripada mushaf jenis lainnya. Perlu diketahui, bahwa sejak akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20, mushaf Al-Qur'an yang beredar di Nusantara bukan hanya mushaf cetakan Bombay, India, tetapi juga mushaf cetakan negeri lain, sepeti Turki dan Mesir. Mushaf cetakan negeri-negeri ini bahkan masih cukup banyak dijumpai di sejumlah tempat seperti museum, masjid kuno bersejarah, hingga kolektor perorangan di berbagai wilayah Indonesia. Meskipun jumlahnya tidak banyak, namun mushaf-mushaf yang berasal dari negeri-negeri tersebut cukup mewarnai persebaran mushaf di Indonesia pada kurun waktu tersebut, tulisnya.