Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Jazz (?)

23 Juni 2024   07:32 Diperbarui: 24 Juni 2024   04:38 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prasasti tempat kelahiran Jazz di New Orleans https://jazzobserver.com/

"Tamu kita berikutnya berusia 13 tahun dan ia mewakili semua remaja belia di dunia yang bermain dengan kecanggihan harmoni dan ritme yang luar biasa, penuh semangat, dan di atas segalanya, (ia) tahu bagaimana berinteraksi dengan pemain drum yang bermain lima (ketukan). Bermain dengan sentuhan emas serta memiliki rasa logika dan kebijaksanaan melodi yang ekstrem, semua hal lain yang disukai anak-anak seusianya, kejeniusannya telah diakui di seluruh dunia. 

Dia telah merilis dua album: My Favorite Things dan Countdown, ia sangat menyenangkan untuk diajak bermain dan permainannya  akan berbicara dengan sendirinya. Kita dengan senang hati menyambutnya di atas panggung, Mr Joey Alexander," buka Wynton Marsalis saat mengundang Joey Alexander untuk bergabung main bersama Lincoln Center Orchestra.

Josiah Alexander Sila, biasa dipanggil Joey, adalah remaja kelahiran Bali. Pianis prodigi  asal Indonesia ini pun kemudian memainkan dua komposisi Very Early karya Bill Evans dan Who Can I Turn To yang ditulis Leslie Bricusse. 

Sulit untuk tidak dirasuki rasa kagum atas bakat musikalitas remaja berusia 13 tahun tersebut. Jazz - atau apapun sebutannya untuk genre musik yang dimainkannya - memerlukan kematangan rasa dan logika di atas skill kognitif musikal semata. Dan tidak sulit untuk dapat segera menikmati komposisi yang bahkan baru pertama kali saya dengarkan tersebut.


Arti Sebuah Nama

Seperti ditulis Mary Brainerd  dalam Where Did 'Jazz,' the Word, Come From--America’s Classical Music? yang merujuk pada artikel Lewis Porter (2018), jazz sebagai nama genre musik itu sendiri terhitung bermasalah. Kata jazz ditengarai sebagi bentuk derogasi. Kata ini dilekatkan pada kecabulan dan imoralitas.

"Duke Ellington (lahir 1899) dan Max Roach (lahir 1924) benar ketika mereka mengatakan bahwa musik ini dinamai oleh orang kulit putih, bukan oleh musisi kulit hitam yang menciptakannya.

Bahkan Sidney Bechet (lahir 1897) menulis dalam otobiografinya, Treat it Gentle: "Jazz, itu adalah nama yang diberikan oleh orang kulit putih kepada musik tersebut." Mengapa kita mengabaikan para seniman yang dihormati ini? Mereka memang benar," tulis Brainerd. 

Atau dalam kata-kata Duke Ellington sendiri, "Musik ras saya ini adalah sesuatu yang lebih dari sekadar 'idiom Amerika'." Sementara di kesempatan lainnya, Ellington lebih suka menyebut musiknya sebagai American Music (Musik Amerika).

Yusef Lateef, yang juga salah satu legenda dalam genre musik ini, tidak suka jika jenis musik yang ia mainkan disebut jazz. Ia menyebutnya sebagai musik otofisiopsikis. C. Gerald Fraser dalam When Yusef Lateef Plays, Please Don't Call It Jazz, mengutip kata-kata Lateef:

"Kamus lain, katanya, mendefinisikan jazz sebagai musik yang "sumbang dan berisik," dan "tentu saja tidak ada hubungannya dengan seni improvisasi atau musik." Ada pula yang mendefinisikannya sebagai musik yang berirama. "Jika hal itu benar," lanjutnya, "maka musik Prokofiev, Mozart, dan Beethoven akan disebut jazz. Tapi kenyataannya tidak."

Apakah Jazz Itu? 

Sederhananya, cara jazz "bekerja", menurut Jack Firneno, adalah para musisi memainkan sebuah tema (atau kepala, atau melodi), lalu berimprovisasi berdasarkan melodi tersebut, dan kemudian (biasanya) kembali ke tema itu lagi. Ini (hampir) semua tentang apa yang terjadi di tengah-tengah.

Berkenaan dengan improvisasi, seperti dilansir laman Jazz Advice, jika ada satu hal dalam bermain jazz yang diselimuti misteri, maka itu adalah improvisasi. Improvisasi ada dalam jenis musik lain, bahkan dalam tradisi musik dari berbagai penjuru dunia, namun dalam jazz, improvisasi jauh lebih dalam. Entah bagaimana, improvisasi sangat terkait dengan semangat musik, dan bukan hanya musisi yang mengakui kekuatan solo improvisasi. Esensi ini telah ditangkap dalam segala hal, mulai dari literatur, film, hingga budaya pop.

Improvisasi, ungkap Eric dalam Is Improvising Really Improvising?, adalah upaya yang penuh rasa ingin tahu. Ini adalah buah dari persiapan yang tekun dan pengambilan risiko yang intuitif. Anda memerlukan keduanya untuk menyiapkan panggung untuk solo yang indah. 

Sebuah solo yang direncanakan dan dihafalkan akan membosankan dan tidak sesuai dengan semangat suasana. Dengan kata lain, solo yang tidak mengikuti aturan, mengabaikan progresi, bentuk, harmoni, waktu, dan peran pemain lain di atas panggung adalah tidak musikal dan berlawanan dengan semangat improvisasi itu sendiri.

Berimprovisasi itu seperti halnya percakapan. "Analogi yang tepat untuk pola pikir improvisasi dan perjuangan antara struktur dan hafalan versus spontanitas dan kebebasan adalah percakapan sehari-hari," ungkapnya.

Sementara untuk apa hakikat dari  musik jazz itu? Menurut National Museum of American History dalam What is Jazz? Kita membaca:

"Musisi jazz sangat menghargai penemuan suara dan gaya mereka sendiri, dan itu berarti, misalnya, pemain terompet Miles Davis terdengar sangat berbeda dengan pemain terompet Louis Armstrong (yang suaranya bisa Anda dengar di Louis's Music Class). Musisi jazz senang memainkan lagu-lagu mereka dengan gaya mereka sendiri yang khas, sehingga Anda bisa saja mendengarkan selusin rekaman jazz yang berbeda untuk satu lagu yang sama, tetapi masing-masing akan terdengar berbeda. 

Gaya bermain para musisi membuat setiap versi berbeda, begitu pula dengan improvisasi solo. Jazz adalah tentang membuat sesuatu yang sudah dikenal - lagu yang sudah dikenal - menjadi sesuatu yang segar. Dan tentang membuat sesuatu yang dimiliki bersama - lagu yang semua orang tahu - menjadi sesuatu yang personal. Itulah beberapa alasan mengapa jazz adalah bentuk seni yang hebat, dan mengapa beberapa orang menganggapnya sebagai 'musik klasik Amerika'."

Asal-Usul Musik Jazz

"Kapan musik jazz diciptakan?", sebagaimana dilansir Jazz Obersever adalah pertanyaan yang sering ditanyakan oleh para penggemar jazz dan orang-orang yang baru mengenal genre ini. Awal mula jazz sebenarnya sudah ada sejak abad ke-19. New Orleans adalah rumah bagi Congo Square, sebuah tempat di mana para budak berkumpul dan bermain musik. Tradisi tersebut dimulai sebelum tahun 1820, dan menyatukan orang-orang dari berbagai negara, yang masing-masing memperkenalkan sedikit suara unik dari negara mereka ke dalam musik jazz.

"Jazz sering dianggap berasal dari tradisi musik Afrika Barat (ritme, "rasa", blues) dan Eropa (akord harmonik, variasi instrumen). Jazz awal juga menggabungkan nyanyian pujian gereja, lagu-lagu budak, nyanyian di lapangan, dan ritme gaya Kuba.

Jazz berasal dari New Orleans, terutama karena kota ini menjadi tempat berkumpulnya musik yang pada akhirnya menghasilkan genre jazz. Salah satu alasan utama terbentuknya jazz di sana adalah karena para budak dari berbagai negara dapat berkumpul dan bermain musik, sesuatu yang tidak selalu diizinkan di kota atau negara bagian lain.

Wilayah Louisiana memiliki "Le Code Noir," seperangkat aturan yang menguraikan perlakuan terhadap budak. Meskipun banyak dari persyaratannya yang keras dan ketat, memberikan sedikit hak atau kebebasan bagi para budak, beberapa klausul memberikan beberapa hak bagi para budak. 

Beberapa penyewa melarang pemilik budak untuk membuat para budak bekerja pada hari Minggu atau hari libur Katolik. Akibatnya, para budak memiliki satu hari istirahat selama seminggu, dan banyak orang di sekitar New Orleans menggunakan waktu itu untuk berkumpul di Congo Square.

Pada dasarnya, hal ini menjawab pertanyaan, "Mengapa New Orleans menjadi tempat kelahiran jazz?" hari libur di hari Minggu yang diwajibkan itulah yang menciptakan kondisi yang tidak ada di banyak daerah lain di selatan Amerika. Melalui pertemuan mingguan tersebut, musik menjadi cara untuk menemukan kegembiraan dan menjadi fondasi bagi apa yang akhirnya menjadi jazz," lansirnya.

Ketika berbicara tentang siapa yang menciptakan musik jazz, menurut  Jazz Obersever, sebagian besar sejarawan menganggap Buddy Bolden - seorang pemain cornet - sebagai musisi jazz pertama. Dia adalah seorang pemimpin band Afrika-Amerika, dan dia bahkan pernah dijuluki sebagai "orang pertama jazz", yang mengukuhkan posisinya dalam sejarah jazz. 

Jazz dan Islam

Kembali, Joey membuat saya terpekur saat menikmati komposisi karya Thelonious Monk, Round Midnight dalam kesempatan Jazz at Lincoln Center Gala - 2014. Judul lagu ini terasa sangat pribadi bagi saya. Mengingatkan pada sembahyang malam, tahajjud. Terbersit dalam hati, apakah seperti halnya Yusef Lateef yang adalah seorang muslim, apakah ada hubungan Monk dengan sufsisme Islam? Ternyata persentuhan itu ada. Pada laman Jazz Profile dalam tulisannya, Thelonious Monk mengutip buku Thelonious Monk: The Life and Times of An American Legend-nya Robin D.G. Kelley, kita membaca:

"Pilihan Monk untuk terompet adalah Idrees Dawud bin Sulieman yang berusia 24 tahun. Ketika ia meninggalkan kampung halamannya di St. Petersburg, Florida bersama Carolina Cotton Pickers pada tahun 1941, ia dikenal sebagai Leonard Graham. 

Setelah empat tahun di jalan, dia menetap di New York City, mendapat pekerjaan dengan band Earl Hines, dan mulai nongkrong di Minton's.22 Di New York, Graham menemukan Islam-bukan Nation of Islam-nya Elijah Muhammad, tetapi sebuah kelompok yang menamakan dirinya Ikhwanul Muslimin (jangan disamakan dengan kelompok di Mesir dengan nama yang sama). Ikhwanul Muslimin diidentikkan dengan gerakan Ahmadiyah, sebuah aliran radikal Islam yang didirikan pada tahun 1888 oleh seorang Muslim India, Mirza Ghulam Ahmad, yang mengklaim dirinya sebagai 'Mahdi' atau 'Al-Masih yang Dijanjikan' dan 'Juru Selamat' iman Islam. 

Ahmadiyah dianggap sesat oleh sebagian besar dunia Islam karena mereka memasukkan bagian-bagian dari Perjanjian Baru di samping Al Qur'an, mengklaim bahwa Yesus adalah seorang nabi Islam, menerjemahkan Al Qur'an ke dalam bahasa-bahasa lain selain bahasa Arab, dan mempromosikan gagasan bahwa Ahmad adalah Mahdi. Komunitas Ahmadiyah mendirikan sebuah misi di Harlem pada tahun 1920, yang pada akhir tahun 1940-an telah menjadi magnet bagi para musisi muda kulit hitam yang terpengaruh oleh rasisme di New York."

Lebih tandas lagi, Daniel Pipes, Ketua Middle East Forum dalam Islam and American Jazz menulis:

"Meninggalnya Al-Hajj Dr. Yusef Abdul Lateef pada tanggal 23 Desember di Massachusetts mengingatkan kita akan pengaruh Islam yang eksotis dan setengah terlupakan di kancah musik Amerika pada tahun 1950-an, ketika Islam, dan khususnya Islam Ahmadiyah, menjadi sesuatu yang keren."

Para misionaris dari gerakan kecil Ahmadiyah dari Pakistan, menurut Pipes, meraih kesuksesan yang luar biasa di antara para musisi jazz terkemuka di tahun 1950-an, selain Lateef, mereka juga mengislamkan tokoh-tokoh terkenal seperti Nuh Alahi, Art Blakey (Abdullah Ibnu Buhaina), Fard Daleel, Mustafa Daleel (Oliver Mesheux), Talib Daoud, Ahmad Jamal (Fritz Jones), Muhammad Sadiq, Sahib Shihab (Edmund Gregory), Dakota Staton (Aliya Rabia), dan McCoy Tyner (Sulaiman Saud). 

Superstar yang dibisikkan telah menjadi mualaf antara lain John Coltrane (yang pertama kali menikah dengan seorang Muslim), Dizzy Gillespie (yang bandnya beranggotakan beberapa orang Muslim), Charlie Parker (Abdul Karim), dan Firaun Sanders (yang karyanya mengandung tema-tema Muslim). Satu daftar pemain jazz Muslim berisi sekitar 125 nama. Para musisi ini lebih suka tampil di klub-klub yang dimiliki oleh sesama Muslim, yang kebanyakan berasal dari Karibia.

Menilik historisitas ini,tidak terlalu berlebihan bila nuansa yang saya rasakan saat mendengarkan Round Midnightnya Monk, sisi lain dari pribadi saya mengaitkannya dengan sembahyang malam.

Interpretasi

Daya ungkap musik genre ini sangat fasih dan kontemplatif. Bila legenda jazz - atau apapun itu sebutan selainnya yang Anda rasakan lebih pantas - Louis Armstrong suatu ketika berujar: “If you have to ask what jazz is, you’ll never know”, maka saya suka berseloroh bahwa jika musik klasik adalah musiknya para ahli fiqih, maka jazz adalah musiknya para ahli tasawuf. Hehehe

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun