Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

The End Justifies The Means

8 Mei 2021   11:58 Diperbarui: 28 Juni 2021   08:00 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.suara.com/news/2021/02/17/064436/7-keutamaan-bulan-ramadhan-bulan-diturunkannya-al-quran?page=all

https://www.suara.com/news/2021/02/17/064436/7-keutamaan-bulan-ramadhan-bulan-diturunkannya-al-quran?page=all

Ramadan tahun ini akan segera berakhir. Dari Abdullah Ibnu Abbas ra diriwayatkan Rasulullah saw bersabda, "Sekiranya umatku ini mengetahui apa-apa (kebaikan) di dalam bulan Ramadhan, niscaya mereka menginginkan agar sepanjang tahun itu menjadi Ramadhan." Inilah ungkapan keengganan beliau  berpisah dengan  Ramadan.

Sepuluh hari terakhir Ramadan merupakan bagian yang unik. Berat untuk dilalui sekaligus berat untuk ditinggalkan. Sebagaimana tersirat dari sulitnya pelafalan huruf dhad sebagai huruf terakhir dari Ramadan, demikian pulalah karakter puluhan terakhir ini. Bila tidak berhati-hati maka seorang sha'im (orang yang berpuasa) akan mengalami antiklimaks. Alih-alih meraih keselamatan ia malah terjebak dalam kesia-siaan, yakni sebatas lapar dan dahaga saja.

Dalam puluhan dhad ini sang sha'im idealnya mengalami kelahiran baru. Sebuah metamorfosis ruhani sebagaimana diungkapkan dalam redaksi profetik: Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan mawas diri maka diampuni baginya dosa-dosanya yang telah lalu (HR Bukhari-Muslim). Terampuninya dosa adalah nama lain untuk terselamatkannya sang sha'im dari api neraka. Inilah idealnya klimaks dari perjalanan sebulan berpuasa. Dan untuk itulah berakhirnya Ramadan dirayakan dengan Iedul Fitri , yakni kembalinya kita kepada fitrah kesucian diri.

Tapi ada satu hal yang umumnya kita lewatkan dalam pembahasan shaum. Dan tulisan kecil ini akan coba mendiskusikan yang biasa terlewatkan tersebut.

Shaum (berasal dari  shaama-yashuumu-shauman/shiyaman) yang artinya berpuasa atau imsaak yakni menahan diri.  Shaum adalah inti dari bulan Ramadan. Karakter shaum inilah yang kemudian menjadikan Ramadan sebagai bulan turunnya Al-Qur'an, bulan yang dalam salah satu malamnya turun Lailatul Qadar dan bulan yang di puluhan akhirnya keridhaan Tuhan secara khusus diberikan.

Mati Sebelum Mati

Kata shaama (sin, alif dan mim) seakan merupakan naht atau gabungan dari dua kata, yaitu shaara dan mawtan yang kurang lebih berarti menjadi mati. Implikasi dari telisik kebahasaan ini adalah bahwa seorang sha'im seolah tengah menjalani sebentuk kematian yang melaluinya ia bisa melihat Rabb-nya dan yang melaluinya juga ia bisa melihat surga sebagai ganjaran atas puasanya. Tidak makan, tidak minum, tidak bicara dan tidak melakukan hubungan suami istri adalah simbol-simbol kematian. Puasa hakikatnya merupakan penggambaran dari apa yang Rumi katakan sebagai 'matilah kamu sebelum kamu mati'. Sejak untuk melihat Tuhan kita mesti mengalami kematian, maka puasa adalah seibarat cawan kematian yang dengan sang sha'im  bertemu dengan Rabb-nya lalu ia asyik dengan Rabb-nya. Inilah implikasi tertinggi dari kegembiraan bagi yang berpuasa sebagaimana disebutkan dalam hadits: wa farhatun 'inda liqaa'i rabbihi (kegembiraan saat bertemu dengan Tuhannya). Dan inilah barangkali hikmah dari hadits Qudsi ash-shiyaamu lii wa ana ajzii bihi, bahwa puasa adalah untuk-Ku dan Aku Sendiri ganjaran untuknya. 

Tujuan puasa lebih dari sekedar untuk 'mati'. Sebaliknya ia 'mati' untuk kembali hidup. Puasa tidak ditujukan agar pelakunya tenggelam dalam keasyikan dengan Sang Ma'syq yang oleh para sufi disebut sebagai pertemuan dengan-Nya. 

Sang sha'im harus kembali hidup. Ia harus menunda kematiannya. Itulah ifthar yang secara sederhana artinya ia berbuka dari puasanya. Namun, lebih dari itu, ifthar hakikatnya adalah kembali kepada fitrah sebagai manusia yang hidup. Sang sha'im harus dengan suka cita menyadari posisi dirinya. Inilah gambaran kegembiraan sebagaimana hadits: farhatun 'inda fithrihi, yakni kegembiraan saat dikembalikan kepada fitrahnya. jadi berbuka puasa adalah simbol dari kesadaran sang sha'im atas fitrahnya sebagai manusia yang harus menjalani kehidupan dan berbagi kebaikan kepada sesama makhluk hidup lainnya.

Di beranda kepergian Ramadan, saya tuliskan catatan kecil ini dengan kata-kata penutup: Selamat menikmati beberapa tegukan terakhir dari 'cawan kematian' tahun ini demi kehidupan  di sebelas purnama sebelum tiba Ramadan berikutnya! Taqabbalallahu minna waminkum, aamiin! 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun