Mohon tunggu...
Doddy Salman
Doddy Salman Mohon Tunggu... pembaca yang masih belajar menulis

manusia sederhana yang selalu mencari pencerahan di tengah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Trump dan Dekonstruksi Persahabatan

15 September 2025   08:43 Diperbarui: 15 September 2025   08:43 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Thank you to the People of Indonesia for your friendship and commitment to balancing our Trade Deficit. Demikiankah kalimat penutup unggahan Presiden Amerika Donald J.Trump di Truth Social. Unggahan itu muncul menyusul tercapainya kesepakatan dagang besar dengan Indonesia. Indonesia membuka seluruh pasar untuk AS, sedangkan ekspor Indonesia tetap dikenai tarif 19%. Barang dari AS masuk tanpa tarif dan hambatan non-tarif. Sementara Indonesia tetap tunduk pada aturan ketat---termasuk tambahan tarif jika terjadi transshipment dari negara bertarif tinggi. Begitulah  friendship alias persahabatan versi Amerika.

Setiap tanggal 30 Juli dunia merayakan  Hari Persahabatan Internasional (International Day of Friendship). Sebuah momentum global  mengajak semua orang merawat rasa saling percaya, solidaritas dan kebersamaan. Di tingkat antarbangsa maupun antarsesama. Persahabatan sendiri bukanlah konsep tunggal yang kaku. Setiap budaya memiliki penafsiran dan lapisan maknanya masing-masing. Dalam bahasa Jawa kata kanca dan rencang untuk menyebut teman dengan nuansa yang juga khas. Pertanyaannya benarkah makna persahabatan penuh dinamika? Tak sama pada masa kini  dan dahulu?

Persahabatan  antarindividu maupun antarbangsa saat ini memiliki nilai lain. Persahabatan kini adalah arena kepentingan. Sangat cair dan cenderung manipulatif. Pengorbanan dan ketulusan sepertinya sudah tak ada lagi. Lihatlah di ranah global. Konflik geopolitik membuat dunia "terkotak-kotak". Konsep friendshoring, yaitu mengalihkan rantai pasok hanya kepada negara-negara sahabat demi alasan keamanan, kini terbukti rapuh. Kerjasama global telah memudar. Jika dulu satu negara  bisa sejahtera dengan mengajak negara lain untuk maju bersama. Saat ini kesejahteraan satu negara berarti pengorbanan (lebih tepatnya mengorbankan) negara lain. Kesepakatan dagang dengan Amerika mungkin contoh aktualnya.

Jacques Derrida dalam bukunya The Politics of Friendship (1997) menyatakan  persahabatan  jarang lepas dari hitung-hitungan untung rugi. Derrida membongkar ide klasik Aristotelian yang memuja persahabatan sebagai "jiwa yang sama dalam dua tubuh." Sebaliknya ia menegaskan bahwa persahabatan selalu diselubungi aporia. Aporia adalah kebuntuan makna antara janji setia dan logika kuasa. Idealnya sahabat hadir tanpa syarat, tapi  praktiknya persahabatan sering dikondisikan oleh kepentingan. Idealnya persahabatan stabil tapi dalam perjalanan justru ditandai oleh diffrance---penundaan makna dan kerentanan.

Relasi antar elite global menjadi panggung paling dramatis bagi dekonstruksi persahabatan. Ambil contoh Donald Trump dan Jeffrey Epstein. Di era 1990-an hingga awal 2000-an, Trump memuji Epstein sebagai pria hebat menyenangkan yang suka wanita cantik. Persis seperti dirinya. Hubungan Trump-Epstein kental dengan gaya hidup jetset dan pesta. Namun setelah Epstein terjerat kasus pelecehan seksual dan perdagangan manusia Trump segera menganulir. "Saya bukan penggemarnya," kata Trump. Lewat satu kalimat persahabatan bertahun-tahun dilenyapkan.Seakan tidak pernah ada persahabatan.

Relasi Trump dengan Elon Musk juga contoh dinamika persahabatan. Dahulu keduanya saling memuji. Musk menilai Trump lebih rasional soal kebijakan energi dibanding calon presiden lainnya. Trump mengagumi Musk sebagai wujud kejayaan kapitalisme Amerika. Namun kini setelah Trump menjabat presiden dan melakukan kebijakan kontroversial Musk menyindir Trump sebagai pemimpin "masa lalu," yang "terjebak nostalgia." Trump pun membalas, menyebut Musk "tak loyal dan terlalu fokus pada diri sendiri." Begitu hilang untung persahabatan pun buntung.

Fenomena serupa kita jumpai di tingkat lokal. Beberapa mantan pendukung Presiden Joko Widodo berubah haluan. Dulu mengelukan integritas dan kesederhanaan Jokowi. Sekarang malah sibuk mempersoalkan keaslian ijazahnya. Awalnya teman seperjuangan, akhirnya menjadi penggugat yang menyoal legitimasi. Persahabatan politik ternyata bertumpu pada distribusi akses dan kepuasan akan peran. Ketika ekspektasi tak terpenuhi retaklah jalinan yang dulu dielu-elukan.

Persahabatan bukanlah hadir sepenuhnya di sini dan kini, melainkan selalu janji yang menunda diri (Derrida, 1997). Hari Persahabatan Internasional yang dirayakan setiap 30 Juli seyogyanya untuk mengkritisi bagaimana persahabatan sering direduksi menjadi alat kalkulasi. Bahwa "friend" dalam ekonomi global bukan lagi nilai bersama namun soal kontrol, akses dan keuntungan sepihak. Derrida menekankan bahwa dalam ranah politik, persahabatan bukan soal rasa, tetapi kalkulasi. Siapa yang layak disebut sahabat dan kapan status itu bisa dicabut.

Maka pertanyaan besarnya adalah apakah persahabatan sejati masih mungkin? Derrida tidak menutup harapan. Justru dengan menyadari bahwa persahabatan rentan, penuh aporia dan diffrance, kita semua didorong untuk terus merawatnya secara sadar. Alih-alih mencari teman untuk memperkuat posisi, persahabatan sebaiknya diartikan kemampuan menerima kemungkinan perbedaan dan ketegangan. Persahabatan sejati bukanlah instrumen dominasi, melainkan ruang rawan yang terus diperbarui oleh keterbukaan hati.

Pada akhirnya mungkin manusia tak pernah punya sahabat yang sepenuhnya hadir. Namun kesadaran akan ketidakhadiran itu---akan kerentanannya--- seharusnya menjadikan siapapun lebih rendah hati dalam berteman. Barangkali itulah satu-satunya jalan agar di dunia ini persahabatan tetap punya harapan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun