3. Menghargai selera
Anies Baswedan beralasan menyajikan daging kurban dalam bentuk makanan agar warga bisa merasakan makanan hotel berbintang. Ini alasan tak masuk akal. Suatu makanan enak atau tidak bukan ditentukan oleh ukuran makanan hotel berbintang atau bukan. Namun ditentukan karena sesuai dengan selera banyak orang. Selera sendiri tidak pernah benar atau pun salah.Â
Selera terbit sebagai hasil penyesuaian dengan kondisi masyarakat. Masyarakat minang cenderung menyukai makanan yang pedas. Sementara masyarakat Jogja cenderung suka dengan masakan berasa manis. Tidak ada yang  salah. Tidak ada yang lebih tinggi di antara keduanya.
Menempatkan selera masakan hotel berbintang lebih enak daripada selera masakan masyarakat umumnya sungguh alasan menggelikan.
Membagikan daging kurban dalam bentuk makanan berstandar hotel internasional sungguh suatu pernyataan melecehkan. Sepertinya makanan yang bukan olahan hotel berbintang tidak enak bahkan mungkin tidak layak.Padahal sekali lagi, selera tidak pernah mengenal salah. Ada orang lebih berselera makan daging kambing menggunakan bumbu kecap.Â
Ada juga yang lebih menyukai bumbu kacang. Ada yang menyukai daging sapi pembagian Idul Adha dijadikan sate. Sementara yang lainya dijadikan daging rendang. Kemerdekan memilih proses pengolahan daging diokupasi dan diintervensi dengan penyajian maakan siap santap ala hotel berbintang.
Peranyaan saya mengapa kretifitas Gubernur DKI tidak menyentuh masalah klasik seperti banjir dan kemacetan? Tidakkah itu lebih membutuhkan perhatian? Jangan sampai "kreatifitas" menutupi persoalan penting seperti macet dan banjir.