Mohon tunggu...
Doddy Salman
Doddy Salman Mohon Tunggu... Dosen - pembaca yang masih belajar menulis

manusia sederhana yang selalu mencari pencerahan di tengah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Baju Baru Raja

26 April 2019   11:38 Diperbarui: 26 April 2019   11:55 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Syahdan dahulu kala hiduplah seorang raja yang gemar mengenakan pakaian baru. Jam demi jam tak bosan-bosannya ia berganti-ganti pakaian yang baru. Sang raja tak peduli dengan rakyatnya, tak hirau dengan kerajaannya. Hanya ada pakaian baru di pikirannya. Sampai suatu ketika datang dua orang yang mengaku pakar perancang adibusana. 

Busana karyanya begitu indah sehingga jika seseorang tak mampu melihatnya maka kemungkinannya hanya dua:sesungguhnya ia tak layak menjadi pejabat  atau bodoh luar biasa. Mendengar kedatangan pakar busana tersebut raja tertarik memesan dan menyerahkan uang yang banyak  untuk adibusana rancangan mereka.

Singkat cerita sang raja akhirnya datang melihat pakaian karya perancang adibusana tersebut. Namun sesampainya di sana sang raja tak menyaksikan apapun.  Yang nampak hanyalah kedua perancang busana tersebut seolah-olah sedang bekerja keras."Bukankah ini pakaian yang luar biasa indah?," tanya para pembantu raja yang sudah lebih dulu datang menyaksikan. 

"Indah?" "Tapi aku tidak melihat apapun," tanya sang raja dalam hati. "Apakah saya bodoh atau sudah tidak pantas menjadi raja sehingga tidak dapat menyaksikan keindahan adibusana ini?"

Meskipun sesungguhnya tak melihat busana yang disebut luar biasa indah tersebut namun sang raja tetap mempercayainya. Bahkan ia  memamerkan keindahan adibusana yang baru ia miliki tersebut dengan berjalan-jalan ke hadapan rakyatnya. Rakyat yang menyambutnya bersorak sorai memuji setinggi langit keindahan adibusana tersebut. 

Hingga akhirnya seorang gadis kecil dengan polosnya membantah puja puji tersebut, "Tetapi ia sama sekali tidak berpakaian selembar pun". Barulah rakyat yang semula memuji-muji berani mengakui kehadiran sang raja yang polos tanpa busana. Ironisnya meskipun rakyat telah mengetahui dirinya berjalan tanpa busana sang raja memutuskan tetap berjalan memamerkan "busana indahnya".

Kisah raja dan pakaian barunya di atas  adalah ringkasan karya penulis Denmark Hans Christian Andersen berjudul The Emperor's new suit .Terbit hampir dua ratus tahun lalu karya Andersen tersebut masih relevan hingga kini. Melalui dongeng Andersen  menarasikan proses bagaimana suatu masyarakat mengingkari (denial) sebuah kenyataan sosial. 

Dalam kisah tersebut masyarakat, meminjam istilah Zerubavel (2006), terjebak dalam konspirasi bungkam (conspiracy of silence). Jika jujur menyampaikan keadaan sesungguhnya maka ia terkena sanksi sosial  dikategorikan tak layak memegang jabatan atau bodoh tak terkira. 

Untuk terhindar dari sanksi sosial maka masyarakat berkompromi dengan pura-pura tak peduli dan mengetahui persoalan sesungguhnya. Kondisi inilah yang disebut gajah di dalam kamar (elephant in the room).

Kondisi gajah di dalam kamar kini tampaknya sedang menggejala di masyarakat pasca pilpres dan pileg 17 April lalu. Hitung cepat (quick count)  tiba-tiba digugat dan disangsikan kebenarannya. Alih-alih mempercayai hitung cepat yang diselenggarakan atas kerjasama media dan sejumlah lembaga survei, masyarakat diajak mempercayai quick count dan real count pihaknya sendiri. 

Masyarakat sebetulnya tahu bahwa hitung cepat dalam pilpres sudah berulang kali dilakukan dan keakuratannya nyaris menyamai real count Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun kini masyarakat diajak untuk mempercayai hal yang baru yang sesungguhnya tidak ada.Masyarakat diajak dalam konspirasi bungkam.

Untuk mencapai kondisi masyarakat yang terlibat dalam konspirasi bungkam ada beberapa faktor yang harus diperhatikan. Faktor-faktor tersebut ada tiga: kekuasaan dan perhatian (power and attention),  kemampuan mengontrol informasi, dan menjaga bocornya rahasia (Zerubavel,2006).

Faktor kekuasaan dan perhatian mewujud dalam istilah jurnalistik agenda setting.Agenda setting adalah upaya yang dilakukan agar agenda suatu kelompok menjadi agenda masyarakat. Dalam konteks pascapencoblosan 17 April 2019 maka narasi pendelegitimasian KPU adalah  agenda yang diharapkan mencuri perhatian dan akhirnya menjadi agenda masyarakat. 

Penyebaran narasi bahwa KPU curang, lembaga survei bayaran, aparat keamanan yang tidak netral adalah sebagian wacana yang diagendakan menjadi perhatian masyarakat. Sementara permintaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) agar televisi mengurangi penyiarkan proses hitung cepat dan penilaian Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa hitung cepat lebih banyak mudharat (ketidakmanfaatannya) adalah praktek upaya mengontrol informasi. Sedangkan penolakan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi membuka data real count yang menjadi dasar kesimpulan bahwa pasangan capres 02 memenangkan pilpres 2019 adalah upaya menjaga bocornya rahasia.

Terpenuhinya ketiga faktor tersebut menyiratkan bahwa sebagian masyarakat kini sedang menuju (atau sudah?) berada dalam konspirasi bungkam. Memuja muji setinggi langit pakaian baru sang raja yang sesungguhnya tanpa malu memamerkan dirinya tak berbusana. 

Memuja muji karena takut diberi sanksi sosial tak pantas memegang jabatan atau bodoh tak terkira.Lalu haruskah kita menunggu teriakan "gadis kecil" yang berkata, "Tetapi ia sama sekali tidak berpakaian selembar pun".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun