Mohon tunggu...
Doddi Ahmad Fauji
Doddi Ahmad Fauji Mohon Tunggu... Editor - Jurnalis Mandiri, penulis puisi, aktivis tani ternak

Another Voice

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kurikulum Merdeka Belajar untuk Apa?

4 Juli 2022   02:08 Diperbarui: 4 Juli 2022   13:15 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh Doddi Ahmad Fauji

Kurikulum Pendidikan di muka bumi, pernah disusun oleh Raja Hammurabi dari Babilonia dalam 282 pasal, yang bisa dikatakan merupakan penjabaran dari The Ten Commanders atau 10 Perintah Tuhan kepada Musa. 

Disebut kurikulum pendidikan, para akademisi akan nyebutnya hukum, karena 282 pasal tersebut, menghendaki lahirnya manusia yang beradab, jujur nan kreatif, hingga berguna bagi dirinya dan orang lain, dan tidak pula merugikan yang lain. 

Kehendak tersebut, bisa dilacak pada seluruh kurikulum pendidikan di Indonesia, sejak 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013 (kurtilas), 2016 (tak jadi digunakan), hingga kurikulum Merdeka Belajar mulai tahun ajaran 2022/2023.

Insan jujur nan kreatif, niscaya ditemukan dalam seluruh kurikulum pendidikan yang pernah diberlakukan, yang ternyata selaras dan sebangun dengan dua pasal dari 282 Codec Hammurabi, yang berbunyi seperti ini:

  • Seorang yang gagal memperbaiki saluran airnya akan diminta untuk membayar kerugian tetangga yang ladangnya kebanjiran.
  • Seorang dukun yang pasiennya meninggal ketika sedang dioperasi dapat kehilangan tangannya (dipotong)

Bahkan pada jaman Hammurabi, Raja ke-6 dari dinasti Babilonia Klasik, manusia sudah dituntut untuk kreatif dan tidak merugikan yang lain. Maka kini, jika ditemukan indikasi seorang akademisi tertinggi, yaitu doktor (Dr.) telah menjadi plagiator, maka ia tak bisa disebut kreatif. Sebab ber-plagiat itu, telah mencuri hak kekayaan intelektual seseorang, dan ia meraih keuntungn secara egoistik dan licik. 

Barangkali benar doktor itu pinter, namun dalam praktik kehidupan, ia 'pinter keblinger' dan gemar minterin orang lain. Juga maka kini, bila ada dokter (dr) lulusan fakultas kedokteran, namun dalam praktiknya ia melakukan mala, maka akan dintutut secara qisos: hutang gigi dibayar gigi, hutang garam dibayar bukan dengan gula.

Kurikulum itu, hakikatnya adalah arahan teknis untuk dijabarkan, semacam juknis tapi isinya ribet bahkan untuk dipahami, hingga perlu mengadakan kursus kurikulum, atau workshop implementasi dengan dana yang besar, tiada lain sangkan pendidik dan peserta didik, dapat mempelajari hal-hal penting di masa kini, yang anak didik itu dikader agar 'parigel', yang dapat 'ngigelan' jaman dengan tata dan cara yang beradab, yang dibenarkan oleh tiga ranah hukum, yaitu hukum akal sehat (common sense), hukum masyarakat (konstitusi dan konvensi), dan hukum alam atau dapat disebut dengan istilah sunnatullah, hukum sababiyah, hukum kausalitas, hukum sebab-akibat: barangsiapa nanam biji tomat, jangan berharp panen anggur.

Sudah benar yn kurikulum atau juknis yang ribet itu, direvisi dari waktu ke waktu, disebabkan peradaban makin berkembang pesat, dan siapapun akan tertinggal di belakang jika tak mampu malah tak mau ikut berubah, yakni berdiam di zona nyaman. 

Maka dari itu, yang mendesak itu sebenarnya melakukan reformasi dalam tubuh birokrasi pendidikan. Dosa besar dalam sistem pemerintahan kita, terletak pada pergeseran makna Birokrasi menjadi BROKERISASI alias calo.

Kenaikan pangkat/golongan guru ASN, pengangkatan Kepsek di beberapa daerah, malah penerimaan CPNS, masih dijalankan dengan mental upeti. Ketua Asosiasi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia (AGBSI) pernah bekata ke saya di ruangannya, tidak mau jadi Kepsek, karena harus siap sekian fulus sebagai uang ritual-nya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun