Mohon tunggu...
DNA HIPOTESA
DNA HIPOTESA Mohon Tunggu... IPB University

Discussion and Analysis merupakan sebuah divisi di Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) yang berada di bawah naungan Departemen Ilmu Ekonomi, FEM, IPB University. Divisi DNA berfokus dalam mengkaji isu-isu perekonomian terkini baik Indonesia maupun global. As written in the name, we are here to produce valuable analysis of the economy, while building a home for healthy economic discussions. All of this is aimed to build critical thinking which is paramount in building a brighter future for our economy.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketegangan Iran-Israel: Ancaman Global Yang Mengguncang Perekonomian

4 Juli 2025   19:24 Diperbarui: 4 Juli 2025   19:23 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketegangan yang melibatkan Iran dan Israel kembali memuncak pada Juni 2025, dipicu oleh aksi saling serang, isu bom nuklir Iran, serta keterlibatan berbagai negara pendukung di kawasan Timur Tengah. Konflik ini menarik perhatian banyak pihak di seluruh dunia karena kedua negara terletak di wilayah strategis penghasil energi terbesar, dengan Iran memiliki pengaruh besar pada jalur distribusi minyak global, terutama di Selat Hormuz.


Ketegangan yang terjadi di area Selat Hormuz tentu akan mempengaruhi keamanan serta kelancaran aktivitas yang berlangsung, terlebih lagi Selat Hormuz merupakan selat yang sangat penting untuk distribusi pasokan energi dunia. Letak geografis yang berada di daerah rawan, memberikan potensi terhambatnya arus logistik pasokan energi. Ditambah lagi, Selat Hormuz merupakan satu-satunya jalan yang digunakan untuk mengirim minyak bumi keluar teluk Persia ke Laut Lepas dari negara penghasil minyak utama (Iran, Arab dan Kuwait).  Selat Hormuz juga menjadi jalur transit utama Qatar sebagai salah satu eksportir gas alam cair terbesar di dunia. Dalam sehari, Selat Hormuz dilewati oleh 15 kapal tanker yang membawa 17-20 Juta Barel minyak bumi (sekitar 20% pasokan minyak dunia) dan dilewati lebih dari 3.000 kapal komersial setiap bulannya. 

Fakta-fakta tersebut menunjukkan seberapa pentingnya Selat Hormuz sebagai jalur sakral dalam memenuhi kebutuhan energi di berbagai belahan dunia. Bayangkan apa yang akan terjadi jika jalur tersebut terhambat, ketegangan yang terjadi antara Iran dan Israel menimbulkan kekhawatiran akan keamanan jalur tersebut. Terhambatnya pasokan minyak ini akan menyebabkan harga minyak menjadi meningkat.  Naiknya harga ini akan berimbas juga kepada kenaikan produk turunan utama yaitu bahan bakar kendaraan.

Peneliti Next Policy, Shofie Azahra, menyatakan bahwa anggaran subsidi akan membengkak dikarenakan selisih yang membesar antara harga pokok yang naik dan harga jual (BBM) tetap, yang mana ditanggung sebagai APBN. Situasi tersebut akan lebih diperburuk jika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah,  sebab transaksi dilakukan dalam dolar. VP Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, menyebutkan bahwa pembelian crude oil yang berasal dari Arab Saudi mencapai 19% dari total impor. Gangguan akibat konflik yang terjadi dapat menyebabkan berbagai negara mengalami krisis energi. JP Morgan memperkirakan harga minyak dapat meningkat hingga US$ 130 per barel jika Iran menutup Selat Hormuz. Bank Indonesia memperkirakan tekanan inflasi bisa naik antara 0,5% hingga 1% jika harga minyak terus tinggi. Tekanan inflasi ini sangat terasa pada kelompok pendapatan menengah ke bawah karena porsi pengeluaran untuk kebutuhan pokok cukup besar. Berdasarkan data BPS (2024), harga yang diatur pemerintah, termasuk BBM, punya kontribusi signifikan dalam pembentukan inflasi nasional. Ketika harga BBM naik, dampaknya akan menjalar ke harga bahan pokok dan jasa lain.

Di sisi lain, lonjakan harga minyak juga meningkatkan permintaan devisa untuk membayar impor dalam dolar AS. Hal ini berpotensi menekan kurs rupiah, terutama jika di saat bersamaan investor asing memilih memindahkan dananya ke instrumen yang lebih aman (safe haven) akibat ketidakpastian global, hal tersebut dapat menyebabkan capital outflow. Ketidakpastian geopolitik yang berkepanjangan dapat berdampak secara signifikan terhadap nilai tukar rupiah. Dalam beberapa tahun terakhir, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi yang cukup tinggi. Tercatat di Bulan Juni 2025, harga dolar mencapai angka Rp.16.496,50.
Gabungan risiko mulai dari lonjakan harga BBM, tekanan inflasi, hingga pelemahan rupiah akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Kenaikan pada komoditas akan berpengaruh pada konsumsi rumah tangga yang menopang lebih dari separuh PDB Indonesia. World Bank memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai angka 4,7 persen pada 2025 dan 4,8 persen pada 2026, World Bank mengkhawatirkan guncangan geopolitik ini akan berdampak pada inflasi. Kinerja ekspor Indonesia ke kawasan Timur Tengah, Afrika, dan Eropa yang terhambat inilah disinyalir dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional ke angka 4,6 - 4,8 persen.

Ekonom Senior FEB UGM, Dr. Revrisond Baswir, M.B.A., Ak., CA, menilai bahwa dampak langsungnya terhadap perekonomian Indonesia akan signifikan jika negara negara maju seperti Rusia atau Cina ikut turun tangan dalam konflik global tersebut. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro mengatakan bahwa pemerintah harus melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia mengenai kebijakan fiskal dan moneter. Selain itu, diperlukannya juga dukungan terhadap lembaga lembaga keuangan di Indonesia. Pemerintah juga harus mempertahankan jual beli masyarakat dengan penyusunan stimulus yang terarah.

Ketidakpastian dan ketegangan situasi yang terjadi tentu langsung memicu gejolak di pasar global. lonjakan harga minyak yang otomatis meningkatkan tekanan inflasi secara global karena biaya energi yang lebih mahal memengaruhi ongkos logistik, transportasi, dan bahan baku produksi. Bagi negara seperti Indonesia yang masih sangat bergantung pada impor energi, kondisi ini bisa berimbas pada pembengkakan subsidi BBM dan gas, yang akhirnya membebani anggaran negara. Selain itu, ketidakpastian geopolitik juga membuat nilai tukar rupiah rentan tertekan terhadap dolar AS, sebab pembayaran impor minyak dilakukan dalam mata uang asing. Hal ini tentu menambah risiko beban fiskal pemerintah di tengah upaya menjaga daya beli masyarakat agar tidak jatuh terlalu dalam akibat kenaikan harga energi. Untuk itu perlu adanya respon yang sigap dan tepat dari pemerintah, langkah mitigasi risiko diperlukan untuk meminimalisir dampak yang akan ditimbulkan dari ketegangan ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun