Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Museum Nasional, Dikenal sebagai Gedung Jodoh, Gedung Arca, dan Gedung Gajah

25 April 2017   06:09 Diperbarui: 27 April 2017   14:00 2380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagian dalam Gedung A Museum Nasional (Foto: Djulianto Susantio)


Salah satu objek wisata yang paling banyak dikunjungi wisatawan mancanegara di Jakarta adalah Museum Nasional Indonesia (MNI). Boleh dibilang MNI selalu menjadi ‘lokasi wajib’ bagi wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia, terlebih Jakarta. Soalnya adalah materi koleksi di MNI dianggap beragam, unik, dan langka. Koleksi-koleksi seperti itu, yang berasal dari seluruh wilayah Indonesia, tentu saja tidak ada di negara mereka karena memang setiap negara memiliki kebudayaan berbeda. Tidak heran berbagai pujian seperti wonderful, fantastic, dan excellent hampir selalu terlontar dari mulut mereka.

“Koleksi di sini sungguh luar biasa, mencerminkan kebudayaan Indonesia di masa lalu sudah begitu tinggi. Sangat berbeda dengan koleksi-koleksi yang ada di Belanda, meskipun ada juga yang berasal dari Indonesia,” kata Bernard, wisatawan asal Belanda, baru-baru ini.

Ironisnya, MNI tak memperoleh perhatian serius dari masyarakat negeri sendiri. Terbukti jarang ada yang berkunjung atas inisiatif pribadi bersama keluarga ke tempat ini.  Yang banyak datang justru adalah rombongan murid sekolah atau rombongan lain yang sekadar singgah.

Bernard, wisatawan asal Belanda itu, sangat menyayangkan kalau apresiasi masyarakat Indonesia terhadap museum masih sangat kecil. Padahal karcis masuk di MNI terbilang sangat murah sekali, yakni Rp 5.000 untuk pengunjung dewasa dan Rp 2.000 untuk pengunjung anak-anak. Itupun belum termasuk potongan harga bila datang secara rombongan.

Menurut Bernard, di Belanda harga reguler karcis masuk museum adalah 8 Euro (sekitar Rp 100.000). Di Museum Louvre Prancis konon mencapai 20 Euro. Meskipun relatif mahal, ternyata minat mengunjungi museum tetap tinggi. Belum lagi kalau ada pameran khusus, pengunjung harus membeli karcis masuk tambahan. Bahkan tidak jarang mereka harus melalui antrean panjang.

Gedung baru  

Dulu keluhan pengunjung MNI adalah ruangan yang terlalu sempit, sumpek, dan pengap ditambah soal penataan koleksi, pencahayaan ruangan, dan perawatan toilet. Pada dasarnya memang masyarakat bernada sinis terhadap museum terlengkap dan terbesar di Indonesia tersebut. Karena itu Museum Nasional sering dipandang hanya berfungsi sebagai gudang barang antik, bukan sebagai etalase ilmu pengetahuan dan pendidikan. Apalagi sebagai objek pariwisata yang populer macam di Eropa atau negara-negara maju lainnya.

Koleksi arkeologi Museum Nasional (Foto: Djulianto Susantio)
Koleksi arkeologi Museum Nasional (Foto: Djulianto Susantio)
Kita harapkan dengan semakin bertambahnya fasilitas berupa gedung baru, keberadaan MNI semakin dilihat orang.   Meskipun pembangunannya memakan waktu sangat lama (1996-2007)—terlihat betapa minimnya perhatian pemerintah terhadap museum—sejak  2007 itu Museum Nasional telah memiliki gedung baru di sisi utara yang terdiri atas tujuh lantai. Empat lantai di antaranya digunakan sebagai ruangan pameran tetap, dilengkapi satu ruangan untuk pameran temporer. Gedung baru itu—Gedung  Unit B—disebut  “Gedung Arca”. Peresmiannya dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 20 Januari 2007.

Berbeda dengan penataan pameran di gedung lama—Gedung  Unit A—di  Gedung Arca alur cerita didasarkan atas kerangka tujuh unsur kebudayaan yang berlaku secara universal, yaitu (1) Sistem religi dan upacara keagamaan, (2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) Sistem pengetahuan, (4) Bahasa, (5) Kesenian, (6) Sistem mata pencarian hidup, dan (7) Sistem teknologi dan peralatan.

Ketujuh tema ini kemudian diuraikan lagi ke dalam rincian waktu yang bersifat makro, berdasarkan babakan dalam sejarah Indonesia, yakni masa prasejarah, masa klasik (pengaruh Hindu-Buddha), masa Islam, masa Kolonial, dsb. Penataan koleksi dengan konsep seperti itu dimaksudkan untuk memperjelas gambaran kepada para pengunjung. Dengan demikian benda-benda koleksi yang dipamerkan bisa lebih banyak berbicara karena satu sama lain saling melengkapi sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh, bukan sekadar sekumpulan koleksi yang diletakkan dalam satu ruang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun