Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Inilah Asal Usul "Bhinneka Tunggal Ika" dan Bendera Merah Putih!

25 November 2016   05:16 Diperbarui: 26 November 2016   03:44 4367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://rikiyudha.web.ugm.ac.id/

Majapahit merupakan sebuah kerajaan bercorak agraris terbesar di Indonesia. Keberhasilannya memakmurkan rakyat dan menjalin hubungan kerja sama dengan dunia luar, menjadikannya suri teladan bagi pemimpin-pemimpin bangsa pasca kemerdekaan. Presiden Soekarno dan Menteri Pendidikan/Pengajaran Moh. Yamin bisa disebut sebagai dua orang yang sangat mengagung-agungkan Majapahit.

Sampai kini warisan Majapahit terbilang sangat banyak dan beragam. Warisan berujud benda tidak bergerak bisa disaksikan di situs Trowulan berupa candi dan bangunan lain.  Meskipun kebanyakan terbuat dari batu bata merah, namun beberapa candi menampakkan kemegahannya karena telah dipugar untuk kepentingan pariwisata.

Yang berupa benda bergerak disimpan di Museum Majapahit dan Museum Nasional Jakarta. Bahkan banyak koleksi masih berada di museum-museum mancanegara dan kolektor-kolektor barang antik.

Warisan-warisan nonfisik pun tergolong tidak sedikit. Justru hal inilah yang tetap lestari sampai sekarang. Berbagai nama seperti Majapahit, Hayam Wuruk (raja Majapahit paling terkenal), dan Gajah Mada (mahapatih Majapahit paling populer), dipakai di mana-mana, antara lain diabadikan sebagai nama jalan, nama universitas, dan nama produk.

Anda pasti mengenal semboyan negara kita “Bhinneka Tunggal Ika”, bukan?  Kata- kata demikian begitu bermakna bagi kita. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berasal dari bahasa Sansekerta itu merupakan cuplikan dari kata-kata yang pernah diucapkan oleh dewa Siwa dalam kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. Sutasoma merupakan karya sastra terbesar kedua setelah Nagarakretagama. Keduanya ditulis oleh pujangga istana dari kerajaan Majapahit.

Dikisahkan, Sutasoma adalah titisan Sanghyang Buddha yang mengajarkan kepada manusia untuk mengendalikan perasaan. Dia tidak suka menjadi raja. Karena itu Sutasoma lari dari istana dalam usahanya mencari kebenaran sehingga akhirnya menjadi penyebar agama Buddha.

Di kahyangan lain, raja raksasa Purusada yang gemar makan daging manusia, berjanji akan mempersembahkan 100 orang raja kepada batara Kala apabila lukanya dapat sembuh. Namun Kala hanya mau persembahan seorang Sutasoma. Sutasoma sendiri bersedia dijadikan korban asalkan ke-100 orang raja itu dibebaskan.

Akhirnya batara Kala dan Purusada sangat terharu menyaksikan keluhuran budi Sutasoma sehingga sejak saat itu Purusada berjanji tidak akan memakan daging manusia lagi. Dewa Siwa yang menitis pada Purusada pun meninggalkan tubuh raksasa itu karena disadarinya bahwa Sutasoma adalah Sang Buddha. Katanya, mangkajinatwa lawan siwatatwa tunggal, bhinneka tunggal ika, tan hana dharmma mangrwa, artinya hakikat Buddha dan hakikat Siwa adalah satu (Kapustakaan Jawi, 1952).

Alkisah, dalam suatu kunjungan ke Bali pada 1962, Presiden Soekarno berkesempatan menonton pementasan wayang. Ketika usai, beliau kembali terkesan dengan kata-kata yang dilontarkan sang dalang tadi, yakni “Bhinneka Tunggal Ika”. Maka beliau mengusulkan agar kata-kata itu dipakai sebagai semboyan negara.

Warisan Majapahit lainnya adalah istilah “bhayangkara”, yang dikenal luas dalam jajaran kepolisian RI. Penetapan nama “bhayangkara” tidak lepas dari popularitas pasukan elit dari masa Kerajaan Majapahit bernama bhayangkari. Pasukan bhayangkari mulai dikenal pada saat Raja Jayanegara (1309-1328) memerintah Majapahit, menggantikan ayahnya Raden Wijaya.

Nama bhayangkari sendiri merupakan adaptasi dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Jawa Kuno. Arti sesungguhnya adalah hebat atau mengerikan. Di Kerajaan Majapahit bhayangkari termasuk pasukan kesayangan raja dan masyarakat. Soalnya, tujuannya bukan untuk menakut-nakuti rakyat, tetapi justru untuk melindungi rakyat dan kerajaan. Karena populer, nama ini kemudian identik dengan nama kesatuan pengawal kerajaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun