Arkeologi Maritim adalah bagian dari ilmu arkeologi yang mempelajari interaksi manusia dengan air melalui tinggalan budaya. Sementara Arkeologi Bawah Air didefinisikan cabang dari ilmu arkeologi yang mengkaji data/situs arkeologi yang berada di dalam air (laut, sungai, danau, dll).Â
Demikian menurut Shinatrya Adhityatama dalam Temu Ilmiah Rutin (TIR) periode Oktober yang diselenggarakan Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta (Balar DIY), 14 Oktober 2021 lalu.
Setiap bulan Balar DIY menyelenggarakan TIR dengan topik dan narasumber berbeda. Kali ini bertopik "Aplikasi Teknologi Mutakhir pada Penelitian Arkeologi Maritim".Â
Saat ini Shinatrya bekerja di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan sedang menempuh S-3 di Griffith University. Ia sering melakukan penyelaman di berbagai perairan Nusantara.
Arkeologi bawah air
Lalu apa saja situs Arkeologi Maritim (AM)? Dalam paparannya Shinatrya mengatakan, termasuk AM adalah tinggalan arkeologi di bawah air, tinggalan arkeologi di wilayah pesisir, teknologi perkapalan, tinggalan arkeologi pada pertempuran di air, budaya maritim pada lingkungan pesisir, sungai, dan danau, serta data arkeologi lainnya yang berada di lingkungan air.
Penelitian ABA terbilang sangat sulit dibandingkan penelitian di darat. Bayangkan ketika berada di dalam air tim harus menentukan lokasi, survei dan pemetaan situs, perekaman data, ekskavasi bawah air, pengangkatan dan konservasi, sains arkeologi, penafsiran dan publikasi, serta terakhir pelestarian.
Untuk survei saja dibutuhkan berbagai perlengkapan dan peralatan yang tergolong mahal. Kapal, pelampung, peralatan selam, peralatan pemetaan, dll menjadi syarat mutlak. Â
Di instansi arkeologi mana pun, peralatan seperti itu belum tersedia lengkap. Tenaga yang ada pun masih terbatas.Â
Namun sedikit demi sedikit mulai tersedia, terutama untuk penanganan di laut dangkal, dengan kedalaman maksimal 30 meter. Bayangkan kalau penelitian berlokasi di laut dalam, misalnya di kedalaman 100 meter lebih.
Menyelam di bawah permukaan laut, tentu membutuhkan keamanan. Untuk itu penyelam bersertifikat harus ada. Minimal harus A2 atau Advance Divers.Â
Para penyelam boleh saja arkeolog atau bukan arkeolog. Yang penting tahu metode kerja arkeologi. Tim bawah air tidak hanya seorang, melainkan beberapa orang. Dalam bekerja pun ada waktu maksimal di dalam air. Ini demi untuk keamanan diri.
Teknologi 3D
Penelitian ABA membutuhkan teknologi 3D. Menurut Ahmad Surya Ramadhan, teknologi 3D diperlukan untuk deteksi, dokumentasi, analisis, rekonstruksi, monitoring, dan diseminasi.
Sebagai gambaran, Ahmad memberi contoh pencarian dan verifikasi bangkai kapal kargo menggunakan single beam echosounder.
Dibandingkan negara-negara lain, situs bawah air di Nusantara tergolong sangat banyak. Maka sejak lama terjadi penjarahan pada kapal kargo yang tenggelam, terlebih yang bernilai ekonomis tinggi.Â
Pernah dijarah lalu dilelang di luar negeri dengan hasil jutaan dollar. Ini yang mengundang minat para sindikat untuk berburu 'harta karun laut'.
Akankah kita kalah dengan sindikat mengingat laut kita sangat luas? Kita memang selalu berpacu dengan nelayan lokal, sindikat amatir, dan sindikat profesional.Â
Mereka hanya mementingkan nilai ekonomi, berharap pada penjualan dengan harga tinggi. Sementara arkeolog hanya berharap nilai ilmu pengetahuan karena dari kapal-kapal yang tenggelam bisa terkuak jenis kapal, asal kapal, penyebab kapal tenggelam, teknologi kapal, dan masih banyak lagi.Â
Dari situlah bisa timbul narasi untuk menambah pengetahuan tentang masa lalu yang mencakup sejarah, ekonomi, teknologi, dsb.***