Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nasib Mesin Parkir di Kelapa Gading yang Kini Tak Lagi Ada

8 Mei 2018   06:50 Diperbarui: 8 Mei 2018   15:53 2983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mesin parkir di Kelapa Gading dengan alas berbentuk tangga (Foto: wartakota.tribunnews.com)

Sejak awal 2015 di Kelapa Gading banyak mesin parkir berwarna merah. Namun sejak Desember 2017, perlahan-lahan mesin itu mulai tidak difungsikan. Maka pengguna parkir tidak lagi melakukan tap kartu ke mesin itu, tetapi membayar langsung ke juru parkir.

Menurut berbagai berita media cetak, mesin parkir itu buatan Swedia. Pemakaiannya diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Ahok, pada Maret 2015.  Tujuan diadakan mesin parkir agar tidak ada interaksi langsung dengan manusia, sehingga uang parkir masuk ke kas daerah secara utuh. Untuk kelancaran parkir, pengguna harus memiliki kartu elektronik sebagaimana untuk membayar tiket bus TransJakarta, kereta api, tol, dan lainnya.

Tarif parkir ketika itu sebesar Rp 5.000 per jam. Namun bila cuma parkir sebentar, bisa digunakan di tempat lain masih di kawasan Kelapa Gading. Pokoknya selama maksimum satu jam, tidak dikenakan biaya lagi.

Meskipun saya tinggal di Kelapa Gading, baru beberapa hari lalu saya perhatikan mesin-mesin berwarna merah itu sudah tidak ada. Yang tersisa hanyalah alas mesin yang berbentuk tangga batu. Jadinya masyarakat kembali ke cara pembayaran manual.  Setiap parkir, baik sebentar maupun lama, dikenakan Rp 5.000 per jam.

Mesin parkir yang sudah diangkut, yang tersisa hanya tangga batu (Dokpri)
Mesin parkir yang sudah diangkut, yang tersisa hanya tangga batu (Dokpri)
Menurut beberapa juru parkir yang saya tanya, mesin-mesin itu diangkut oleh Dinas Perhubungan. Dulu urusan perparkiran Dishub bekerja sama dengan sebuah perusahaan swasta. Sejak awal Desember 2017 kerja sama dicabut. Jadi kini ditangani UP Perparkiran.

"Kalau dipikir lebih enak masa gubernur lama. Saya dapat gaji, bahkan dapat tip dari sopir dan yang punya mobil," kata juru parkir. Selama kekosongan itu, empat bulan juru parkir tidak memperoleh gaji. Justru sekarang penghasilan tambah sedikit karena harus berbagi dengan juru parkir baru.

Mesin parkir yang sudah diangkuti di lokasi lain di kawasan Kelapa Gading (Dokpri)
Mesin parkir yang sudah diangkuti di lokasi lain di kawasan Kelapa Gading (Dokpri)
Dari berita-berita media daring diketahui, sejak sistem manual seorang juru parkir wajib menyetor Rp100.000 ke pihak Dishub. Sisanya boleh dibawa pulang. Ada juga seluruh penghasilan parkir disetor ke Dishub. Juru parkir menerima Rp100.000 sehari. Ini berlaku selama masa peralihan di Jalan Sabang, sebagaimana ditulis di sini.

Kita harapkan mesin parkir lama bisa difungsikan kembali karena masih layak pakai. Ini agar tidak buang-buang duit lagi untuk membeli mesin baru. Semoga segala transaksi langsung semakin berkurang, sehingga penghasilan parkir bisa masuk ke kas daerah/negara. Dulu hasil parkir banyak 'menguap'. Sekarang harus utuh. Jakarta harus semakin baik, bukan semakin mundur.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun