Waktu penenunan pun membutuhkan waktu lama, bisa berbulan-bulan. Apalagi jika kain punya makna spiritual, terlebih kain tua. Uniknya, dalam kain tradisional terkandung cerita dan punya makna tertentu.
Untuk mengangkat derajat kain, Perkumpulan Cinta Tenun mengharapkan adanya ekstrakurikuler. Baru beberapa daerah menyelenggarakan kegiatan itu. Ironisnya, beberapa pengajar terpaksa mengundurkan diri karena tidak memperoleh honorarium.
Penanganan kain tradisional dari hulu ke hilir jelas membutuhkan koneksivitas. Selama ini justru setiap instansi pemerintah berjalan sendiri-sendiri. Pelindungan, pengembangan, dan pencatatan sudah dilakukan oleh Direkrorat Jenderal Kebudayaan. Bahkan menetapkan manfaat setiap kain.
Acara ditutup oleh Kasubdit Warisan Budaya Tak Benda, Lien Dwiari Ratnawati. Kita harapkan kain tradisional akan mendapat tempat di masyarakat, terutama wisatawan mancanegara. Tentu saja sebagai kenang-kenangan atau cenderamata bahwa yang bersangkutan pernah mengunjungi daerah tertentu di Indonesia. ***