Yang saya sesalkan, mengapa banyak arkeolog yang justru berpendidikan tinggi hingga master atau doktor, enggan menulis. Kelemahan para arkeolog memang tidak bisa menulis populer. Jangankan itu, menulis ilmiah di jurnal internal atau jurnal internasional saja menjadi kendala. Dan lagi, sudah digaji oleh negara saja tidak mau berbuat banyak.
Sekali lagi sungguh beruntung, kita punya beberapa arkeolog idealis. Meskipun hidup morat-marit dan tidak digaji negara, masih mau memajukan dunia arkeologi. Tentu lewat bidang yang mereka bisa.
Sebenarnya saya sudah bosan menulis dan ngeblog. Tapi ironisnya, karena kurang perhatian dari pemerintah, maka kader-kader arkeologi muda enggan mengikuti jejak saya. Nggak ada duitnya, begitu kata mereka. Jadinya sampai kini tidak ada regenerasi.
Seharusnya semua bagian dari bidang arkeologi dianggap penting karena merupakan sistem: pendidikan, penelitian, pelestarian, kajian, penulisan, dan blusukan. Sayang dua terakhir, penulisan dan blusukan, terabaikan dalam perhatian.
Banyak komunitas peduli sejarah dan budaya dalam blusukan hampir selalu membersihkan situs atau benda-benda yang berlumut. Bahkan bernegosiasi dengan masyarakat, memasang papan petunjuk, dan lain-lain dengan biaya sendiri atau istilah mereka bantingan (patungan). Yah sungguh beruntung kalau banyak arkeolog partikelir yang idealis. Kita butuh itu.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI