Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Peninggalan Arkeologi di Jakarta Telanjur Tertutup Bangunan Permanen

15 Desember 2016   04:29 Diperbarui: 15 Desember 2016   18:24 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan bangunan masa kolonial (Sumber: jakarta.go.id)

Selain prasasti Tugu dari abad ke-5 Masehi, peninggalan arkeologi yang berasal dari masa klasik sejarah kuno Indonesia (pengaruh agama Hindu dan Buddha) di Jakarta, masih sangat sedikit jumlahnya. Selama berabad-abad kita tidak pernah menemukan sumber arkeologi yang berarti untuk merekonstruksi sejarah Jakarta. Baru pada abad ke-16 kita mendapat berita lagi mengenai bekas daerah Purnawarman, yaitu dengan munculnya nama pelabuhan Sunda Kalapa, di daerah Pasar Ikan sekarang.

Mengapa terjadi kekosongan selama seribu tahun? Sebenarnya peninggalan arkeologi yang tersisa masih banyak jumlahnya, mengingat masa lampau Jakarta begitu cemerlang. Namun karena sudah tertutup hutan beton, lahan-lahan permukiman penduduk, atau pembangunan fisik lainnya, maka sisa-sisa masa lalu yang masih terpendam di dalam tanah itu, belum terkuak ke permukaan. Saat ini yang banyak bertebaran di seluruh wilayah Jakarta hanyalah peninggalan sejarah dalam wujud bangunan. Itu pun banyak yang sudah rusak dan hancur. Sebagian lagi bahkan telah berubah fungsi dan musnah.

Portugis
Sunda Kalapa, pelabuhan terpenting di Jakarta kala itu, merupakan pelabuhan besar yang berada di bawah pengawasan kerajaan Hindu yang beribu kota di Pajajaran. Satu-satunya sumber arkeologi yang dapat dihubungkan dengan pelabuhan Sunda Kalapa adalah sebuah padrao (batu peringatan). Batu peringatan itu memuat perjanjian persahabatan antara kerajaan Sunda Pajajaran dengan Portugis.

Perjanjian tersebut dibuat pada 21 Agustus 1522 dengan menanam padrao di pantai. Selama empat abad informasi demikian terpendam di dalam tanah. Informasi tersebut baru diperoleh secara tidak disengaja pada 1918, sewaktu para kuli bangunan melakukan penggalian untuk membangun rumah baru di pojok persimpangan Jalan Cengkeh dan Jalan Nelayan Timur.

Isi pokok perjanjian itu adalah orang Portugis mendapat izin untuk mendirikan gudang dan benteng di tepi Sungai Ciliwung. Dengan adanya gudang dan benteng itu, maka Kerajaan Sunda mengharapkan kehadiran Portugis akan memperkokoh posisi mereka dalam urusan perdagangan (Candrian Attahiyat, buletin Romantika Arkeologia, 30,1985 dan Adolf Heuken, Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta,1997).

Namun belum sempat Portugis mendirikan benteng, tentara Islam pimpinan Fatahillah sudah menyerang Sunda Kalapa. Mereka berhasil merebut Sunda Kalapa, lalu mengganti namanya menjadi Jayakarta.

Sayang, bukti arkeologi tentang penyerangan Sunda Kalapa masih belum ditemukan. Bisa jadi, menurut arkeolog Candrian Attahiyat dalam tulisannya itu, perang tersebut terjadi di Teluk Jakarta. Maka, satu-satunya upaya untuk melacak temuan arkeologi haruslah melalui penelitian arkeologi bawah air, bukan penelitian sejarah. Kendalanya adalah penelitian seperti itu masih merupakan 'barang mewah' karena ketiadaan peralatan penunjang. Lagi pula biaya penelitian jenis itu relatif mahal sehingga akan membebani anggaran Pemprov DKI Jakarta.

Setelah menguasai Sunda Kalapa, Fatahillah membuat struktur fisik Kota Jayakarta mengikuti pola tata kota Islam, yakni alun-alun sebagai pusat kota. Diperkirakan, sebagaimana rekonstruksi Ijzerman pada 1618, kota terletak di sebelah Barat Sungai Ciliwung, kraton terletak di sebelah Selatan alun-alun, masjid terletak di sebelah Barat alun-alun, dan pasar terletak di sebelah Utara alun-alun.

Pada 1619 Jayakarta dibumihanguskan oleh VOC (Kompeni). Kali ini pun tidak ada peninggalan arkeologi yang tersisa. Untuk mencari sisa-sisa peninggalan kota Jayakarta, satu-satunya upaya adalah melakukan ekskavasi. Kemungkinan besar, situs tersebut terletak di sebelah Barat terminal bis Jakarta Kota sekarang, di seberang kali. Namun upaya ekskavasi hampir mustahil dilakukan karena lahan-lahan kunonya sudah tertutup bangunan permanen.

Memang, banyak masjid kuno yang berusia ratusan tahun masih terdapat di Jakarta. Namun, masjid-masjid kuno tersebut bukan berasal dari masa kerajaan Islam, melainkan dari masa Kompeni berkuasa di Jakarta.

Mulai 1619 Kompeni sepenuhnya menguasai Jayakarta (Batavia). Mereka mulai menyusun kekuatan dengan mendirikan Kastil Batavia. Tragisnya, saksi sejarah ini pun sudah dibongkar untuk pembangunan pelabuhan Pasar Ikan.

Kemudian Kompeni mengarahkan pembangunan ke Selatan kota. Yang mula-mula dibangun adalah Stadhuis (Balai Kota), sekarang difungsikan sebagai Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah). Selanjutnya, tempat di sekitar Stadhuis dijadikan pusat kota. Kota Batavia sendiri terletak mengarah ke selatan, sebatas stasiun kereta api Jakarta Kota sekarang. Selebihnya adalah luar kota. Umumnya rumah tinggal dan tempat peristirahatan terletak di luar kota.

Pada 1628 dan 1629 tentara Mataram Islam di bawah pimpinan Sultan Agung menyerang Batavia. Hal ini pun tidak meninggalkan bukti arkeologis. Hanya diduga situs pangkalan militer Mataram itu terletak di Marunda. Hal ini didasarkan pada sejumlah informasi dari babad dan arsip Belanda yang mengatakan adanya serangan Mataram lewat laut dipimpin Tumenggung Bahureksa.

Armada itu membuat depot logistik di Marunda. Disayangkan, selain terkena abrasi, wilayah Marunda sudah porak-poranda oleh pembangunan fisik, antara lain pembangunan pelabuhan kayu. Satu-satunya jalan untuk mencari situs ini juga harus melalui penelitian arkeologi bawah air.

Sedikit
Mengapa peninggalan arkeologi yang ditemukan di wilayah Jakarta masih sangat sedikit dibandingkan peninggalan sejarahnya, tentu disebabkan perkembangan kota yang sangat pesat. Bisa dibayangkan, dalam kurun waktu sekian tahun saja banyak pendatang dari luar Jakarta bermukim di sini. Menurut sensus tahun 1819, jumlah penduduk Jakarta tidak sampai 50.000 orang. Pada 1930-an menjadi sekitar satu juta orang. Berkembang lagi pada 2000-an menjadi sekitar 10 juta jiwa. Sudah jelas persentasenya tertinggi dibandingkan kota-kota lain.

Banyak pendatang kemudian bermukim di lahan-lahan kosong sebagaimana tergambar dari daerah-daerah yang sekarang populer sebagai Rawajati, Rawabambu, Rawaterate, Kebon Kosong, Kebon Pala, Kebon Manggis, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Makasar, Utan Kayu, Utan Panjang, dsb. Adanya wilayah-wilayah yang disebut rawa, kebon, kampung,danutan jelas menunjukkan Jakarta semakin dipadati pendatang.

Pertumbuhan kota yang semakin pesat menyebabkan banyak situs kemudian tertutup permukiman penduduk dan berbagai pembangunan fisik. Ironisnya, di antara kelangkaan sumber-sumber arkeologinya, banyak peninggalan masa lampaunya justru sengaja dihancurkan dengan dalih demi pembangunan. Di pihak lain, upaya penelitian tidak memperoleh perhatian yang sungguh-sungguh sehingga kalah cepat oleh berbagai pembangunan fisik itu.

Memang, akibat cepatnya pembangunan itu Jakarta menjelma menjadi kota penuh impian. Akibat yang harus dibayar mahal adalah Jakarta tidak mempunyai bukti-bukti masa lampau yang pantas dibanggakan untuk anak cucu kita nantinya. Meskipun revitalisasi kota tua sedang giat-giatnya dilaksanakan, namun itu belum cukup untuk mengungkapkan kebesaran masa lampau Jakarta.***

Penulis: Djulianto Susantio

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun