Hujan selalu menyimpan tanda tanya. Kadang, hujan bisa juga menjadi jawaban. Dia membisu, datang malu-malu, tanpa isyarat dan kata, tiba-tiba dia mengguyur saja sesukanya, seenak hatinya. Seringkali hujan disalahartikan sebagai pembawa duka, sebagai sebab seseorang mengingat kenangannya, sebagai terdakwa yang menyebabkan seseorang takut akan takdirnya. Hujan buatku adalah penenang dalam kerinduan, pembawa air mata, dan pengingat rasa kehilangan. Selalu saja, sesuatu yang harus seseorang lupakan adalah sesuatu yang justru jauh tersimpan begitu dalam, kenangan. Aha! Hujan ternyata masih jadi peran antagonis, dia kembali mengingatkanku padamu! Kamu
Hujan kali ini, di sepotong malam yang dingin, benar-benar mengingatkanku pada rasa rindu, tentu saja rasa yang begitu dalam.
Sayang. Ah! Sayang? Panggilan yang tak pernah terucap sekalipun dari bibirmu. Hujan kali ini memang deras sekali, aku tak membayangkan kamu yang terbaring tertidur disana, apa kau kedinginan? Oh ya, baru kemarin kita merayakan tahun baruan bersama, sehari aku tidak mengunjungimu ya? Apa kamu merindukanku sedalam aku merindukanmu? Tidak usah dijawab! Aku tidak ingin mendengar jawaban dingin itu! Begini saja, besok aku akan mengunjungimu, melihat cantiknya kamu, menyentuh tanganmu dan melihat sorot mata kamu yang sangat jutek itu. Jangan menolak! Aku punya alasan sederhana untuk menjelaskan pemaksaanku.
"Aku hanya rindu. Itu saja. Sederhana. Rindu memang selalu sederhana kan?"Â