Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

WFH (Bukan) Memindahkan Jam Kerja ke Rumah

26 Mei 2020   19:15 Diperbarui: 26 Mei 2020   19:37 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi WFH (Sumber: ayojakarta.com / pixabay)

Jauh sebelum pandemi Covid-19 terjadi, wacana kebijakan WFH di sektor pemerintahan sudah mulai digaungkan pertama kali oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Soeharso Monoarfa (1). 

Beliau mengungkapkan bahwa di masa datang PNS bisa bekerja secara fleksibel, bisa sambil liburan di Bali, Raja Ampat, Tana Toraja, yang penting bisa di-deliver dengan baik tugas-tugasnya. Maklum kantor beliau lebih banyak merumuskan kebijakan perencanaan pembangunan negara, jadi bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja.

Lalu datanglah wabah Covid-19 yang melanda seluruh dunia termasuk Indonesia. Kantor-kantor mulai kalang kabut menghadapi serangan pandemi yang begitu cepat. Di tempat saya awalnya hanya staf yang digilir masuk kerja, lalu beranjak ke supervisor dan administrator. Tinggal para direktur dan dirjen yang masuk tiap hari, sementara pegawai lainnya di-WFH-kan statusnya, dengan masuk kantor hanya sekali seminggu.

Menjelang berakhirnya masa tanggap darurat fase pertama ini, pemerintah akan menyusun aturan bekerja di era new normal yang lebih fleksibel. Kebijakan WFH tampaknya bakal dilanjutkan untuk menyesuaikan dengan era new normal dimana ruang kerja yang semula penuh manusia dikurangi jumlahnya. Satu meja mungkin akan diisi dua orang secara bergantian, atau tetap satu meja satu orang namun jaraknya diperlebar.

Namun anehnya, WFH yang akan dilaksanakan ternyata tidak sesuai dengan harapan. Pegawai tetap wajib melakukan presensi harian dengan upload foto dan share location melalui aplikasi pada awal jam kerja sebagai pengganti jam masuk dan akhir jam kerja sebagai pengganti jam pulang. 

WFH ternyata tidak sefleksibel yang didengung-dengungkan selama ini karena tetap harus mengisi presensi dan harus berada di rumah, tak boleh di tempat lain yang dibuktikan dengan foto dan lokasi GPS.

Sesuai arahan kepala biro kepegawaian, pada saat jam kerja pegawai harus duduk di ruang kerja seperti di kantor, tidak boleh keluyuran ke pasar atau ke warung walau ada di rumah. Pegawai yang WFH juga tak boleh membantu anak yang sedang sekolah online atau membantu memasak di dapur. Selain itu setiap hari pegawai diminta untuk membuat laporan harian sebagai bukti telah bekerja. 

Jadi WFH sebenarnya tak ada bedanya dengan kerja di kantor, cuma memindahkan lokasi ke rumah saja. Padahal semangat awal WFH adalah fleksibiltas tempat kerja yang berorientasi hasil, bukan kehadiran. Inilah kalau yang membuat aturan ingin terlihat milenial namun pikirannya masih kolonial. Mimpinya ingin terlihat seperti kantor gugel atau yutub, tapi prosedunya masih birokratis dan feodal.

* * * *

Menurut saya, yang namanya pekerjaan itu seperti kuota internet, ada yang time based, ada yang volume based, dan ada yang campuran. Pekerjaan yang berdasarkan time based sifatnya cenderung siap siaga pada waktu tertentu dan harus ada kantor atau markas, seperti customer service, ada tidak ada pelanggan tetap harus stand by. 

Demikian juga pemadam kebakaran, ada tidak ada kebakaran harus tetap siaga di kantor, atau tentara, ada tidak ada perang harus tetap siaga di markasnya dan harus apel pagi dan sore.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun