Saat pertama kali menginjakkan kaki di pelataran Masjidil Haram setelah turun di terminal Syib Amir, beberapa orang tampak bersikap ramah sambil menyapa "Assalamu'alaikum Haji". Saya yamg pikirannya masih lempeng enteng saja menjawab "Wa 'alaikum salam" sambil berlalu begitu saja.
Ada lagi yang sedikit nekat, ibu-ibu sejenis yang memasang muka ramah tapi ternyata tangannya berusaha merambah tas kecil milik istri saya. Untunglah tasnya tertutup rapat dan kami terhindar dari malapetaka. Saat tangannya saya tepis dia langsung lari ketakutan.
Karena seringnya disapa tukang sapu, sayapun bertanya pada pembimbing haji kloter. Beliau langsung tertawa ngakak."Ente kayak ga ngerti aja. Itu namanya ngarep sumbangam, shadaqah dari ente." Logat Betawinya kental sekali sambil memamerkan giginya yang sudah mulai ompong. Rupanya gajinya memang sangat kecil dibanding dengam kerjanya berjemur di tengah panasnya matahari untuk menyapu sampah yang dibuang sembarangan oleh jamaah.
Berhubung sudah diwanti-wanti oleh ketua kloter, sesekali saya membalas sapaan tukang sapu dengan selembar uang Riyal. "Syukron, haji mabrur" itulah doa sang penyapu jalan kala selembar Riyal masuk ke kantongnya. Para tukang sapu ini rata-rata berasal dari Bangladesh, sementara ibu-ibu bercadar hitam tadi rata-rata berkulit hitam, pertanda berasal dari Afrika.Â
Selain itu, ada jamaah juga yang mengharap belas kasihan sesama jamaah lainnya. Biasanya pas thawaf mereka berdoa sekerasnya sambil menunjukkan kondisi cacat fisiknya. Ada yang duduk sambil meluncur di papan beroda tanda tak mampu berjalan, ada yang menggunakan tongkat, ada pula yang tampak tertatih-tatih berjalan.
Ada jamaah asal negeri tertentu tiba-tiba mendekati saya. Dengan Bahasa Inggris yang lancar, dia mulai cerita kalau negerinya sedang berperang. Dia lalu menunjukkan luka bekas peluru nyasar di dahinya untuk membuktikan ceritanya. Melihat saya tampak trenyuh, mulailah dia minta sumbangan dengan dalih mau pulang ke negerinya.
Pertama saya keluarkan selembar, mungkin karena masih melihat ada uang di dompet, dengan setengah memaksa minta tambah sejumlah yang ada di dompet. "Get shadaqah from the others, not only me!" Saya tinggikan nada suara dan dia langsung terdiam. Tampak dia berusaha meminta sumbangan ke jamaah di sebelah saya, namun tak digubris. Tak lama dia langsung kabur tanpa sepatah katapun.
* * * *
Namun tak semua jamaah begitu, banyak pula yang bersedekah di Masjidil Haram. Beberapa kali saya ditawari kurma oleh sesama jamaah, bahkan ada yang mengadakan bukber di salah satu sudut masjid. Hal serupa juga terjadi di masjid Nabawi Madinah yang selalu mengadakan bukber tiap Senin dan Kamis atau hari puasa sunah lainnya. Menu bukber biasanya berupa kurma, sepotong roti, yoghurt, dan teh rasa mint.