"Kami mencoba mendorong MK bulan sekadar mahkamah kalkulator yang bersifat numerik" -- BW
Disadari atau tidak, ungkapan BW dalam konpers setelah menyerahkan laporan pengaduan kecurangan TSM ke MK bisa jadi ada benarnya. Demokrasi yang kita anut selama ini memang lebih tepat bila disebut demokrasi kalkulator.Â
Semua diperhitungkan dengan angka, dan selalu mayoritaslah yang memenangkan apapun, sementara minoritas hanya menunggu godot untuk tidak diabaikan nasibnya. Istilah kerennya: the winner takes it all.
Sejatinya demokrasi adalah sebuah pemerintahan yang dibangun dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Setiap orang memiliki hak yang setara dalam pengambilan keputusan, termasuk memilih pemimpin dan perwakilannya di parlemen.Â
Namun dalam kenyataannya, demokrasi lebih banyak diartikan sebagai perhitungan numerik siapa yang lebih unggul dari yang lain, sesederhana itu. Kaum yang unggul akan disebut mayoritas dan yang kalah disebut minoritas.
Celakanya, dampaknya tidak sesederhana mengambil keputusan dengan jalan pemilihan secara numerik tersebut atau biasa disebut voting. Pihak-pihak yang kalah tentu akan menuntut hak yang sama dengan pihak yang menang, karena merasa setara di alam demokrasi ini.Â
Keputusan melalui voting akan selalu menguntungkan mayoritas dan merugikan minoritas, walau belum tentu keputusan yang diambil tepat.Â
Contoh terkini yang paling mudah adalah keluarnya Inggris dari EU atau dikenal dengan istilah Brexit, ternyata kerugian yang diterima Inggris jauh lebih besar ketimbang manfaat yang diperoleh bila masih bertahan dalam EU.Â
Tapi karena mayoritas menghendaki demikian, apa boleh buat, keputusan tetap harus diambil dengan segala resikonya.
Demokrasi memang tidak harus selalu numerik atau kuantitatif. Musyawarah untuk mufakat merupakan jalan demokrasi yang kualitatif, seperti yang pernah kita jalankan selama Orde Baru, dimana pemimpin dipilih berdasarkan musyawarah para anggota parlemen. Karena tak bisa diukur dan hanya bisa dirasakan, hasilnya pemimpin yang 4L alias 'lu lagi lu lagi'.