Hiruk pikuk pembahasan elektabilitas capres baik 01 maupun 02 semakin memanas, apalagi setelah Kompas menurunkan hasil penelitiannya.Â
Penurunan suara petahana hingga sedikit di bawah 50% cukup mengagetkan para pendukungnya, walau penantangnya juga relatif stagnan di kisaran 37%. Namun selisih yang semakin tipis ditambah semakin banyaknya potensi golput membuat persaingan semakin sengit karena suara golput tidaklah diperhitungkan.
Gegap gempita Pilpres rupanya tidak merembet ke Pileg. Sejauh ini nyaris tak terdengar suara-suara para calon legislatif di medsos, tenggelam di antara riuh rendah pertarungan Pilpres di antara kedua pendukung fanatiknya. Paling banter hanya sebatas elektabilitas parpol yang membuat ketar ketir pengurusnya apakah lolos electoral threshold atau terlempar dari persaingan 2024.
Sebagian calon legislatif hanya numpang nampang di baliho-baliho atau banner yang mereka pasang serampangan di tepi jalan, tak peduli itu pohon atau menutupi taman dan pemandangan.Â
Sebagian lagi bergerilya dengan apa saja yang dipunyai, seperti misal caleg tukang ojol bagi-bagi stiker buat pelanggannya, caleg tukang gorengan memasang banner di gerobak dorongnya. Kalau yang berduit banyak tentu mengumpulkan massa sekaligus mendompleng kampanye Pilpres. Sisanya hanya pasrah karena mungkin sekadar menjadi pengganjal pintu saja alias memenuhi kuota minimal pencalegan suatu partai.
Elektabilitas para calegpun patut dipertanyakan, sudah sejauh mana popularitas mereka di mata publik? Dan sudah sejauh mana pula mereka mampu menggaet calon pemilih dalam dapilnya masing-masing.Â
Sayangnya bahkan para calegpun mungkin tidak mengetahui berapa persen yang bakal memilih dirinya sendiri dalam Pileg nanti, apakah mampu lolos ke Senayan atau hanya menjadi pelengkap penderita saja. Padahal elektabilitas caleg tak kalah penting dengan capres, karena di tangan merekalah kebijakan anggaran, undang-undang, dan berbagai kebijakan bernegara dirumuskan bersama dengan pemerintah.
Sebagai pemilih, seharusnya kita mengetahui seperti apa calon wakil kita di lembaga legislatif nanti. Bagaimana tingkat intelektualnya serta kemampuan yang bersangkutan dalam menghadapi suatu masalah di masyarakat.Â
Tidak sekadar tebar pesona dan omongan doang, tapi juga turut serta dalam memberikan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah di lingkungannya. Calon wakil kita juga harus peka dan peduli dengan masyarakat yang diwakilinya, tidak sekadar memberikan sumbangan sedikit tapi seolah sudah berjasa besar.
Jangan sampai seperti sekarang ini, mereka para anggota dewan yang terhormat lebih sering golput alias kabur saat sidang-sidang pembahasan suatu materi kebijakan digelar. Bahkan di sidang paripurnapun sering kita dengar tidak memenuhi kuorum karena kurangnya jumlah anggota dewan yang hadir.
Bagaimana golput tidak bertambah kalau wakilnya saja sering golput dalam pengambilan kebijakan. Kalau sudah begini, pemiilih golput justru yang disalahkan, bukan para wakilnya yang benar-benar golput yang dihukum karena tidak memberikan suaranya dalam sidang.