Sandiaga Uno memang sedang naik daun sebulan terakhir ini semenjak resmi menjadi pasangan Prabowo dalam pertarungan pilpres 2019 nanti. Setiap ucapannya menjadi incaran para kuli tinta untuk menjadi yang pertama menorehkannya dalam media tempatnya bekerja. Walaupun pernyataannya terkadang tampak konyol dan bodoh, namun justru itulah kekuatan ucapannya yang mampu menggetarkan emak-emak dan kaum milenial.
Seperti kata rekan saya Bung Stev di sini, Sandiaga bukanlah orang bodoh yang asal njeplak seperti perkiraan banyak orang. Seperti pernyataannya kalau ukuran tempe sekarang setipis ATM (sumber disini), coba kita renungkan kembali berapakah laju inflasi sepotong tempe dari awal reformasi hingga sekarang.Â
Selama ini kita selalu terlena dengan angka  inflasi makro yang nyaris tak pernah menyentuh dua digit sejak reformasi, kecuali tahun 2008 yang sempat menyentuh angka 11,06%. Sementara itu inflasi rata-rata selama 10 tahun terakhir berada di angka 5,94% per tahun, bahkan dalam tiga tahun belakangan hanya menyentuh angka 3, .... persen saja (sumber: Riset Inflasi Tahunan Indonesia 10 Tahunan di Bolasalju.com, Januari 2018).
Padahal, angka inflasi yang diterbitkan oleh BPS tersebut merupakan akumulasi dari berbagai macam kenaikan/penurunan harga barang yang beredar di negeri ini.
 Ada barang yang harganya naik, ada pula yang turun, ada yang naik tinggi, ada pula yang turun drastis. Semua diakumulasikan menjadi angka rata-rata inflasi yang besarannya diumumkan setiap tahunnya. Namun bila diurai per jenis barang, akan tampak mana kenaikan harga barang tertinggi dan terendahnya. Tempe merupakan salah satu contoh kenaikan harga berdasarkan deret ukur, bukan deret hitung.
Saya coba mengingat kembali harga sepotong gorengan tempe saat awal reformasi hingga sekarang, kira-kira muncul angka-angka seperti tertuang dalam tabel di bawah ini.
1. Ketergantungan impor
Lahan pertanian yang semakin sempit dan semakin sulitnya memeroleh petani handal membuat produksi kedelai dalam negeri semakin berkurang, sementara kebutuhan kedelai semakin meningkat. Satu-satunya jalan tentu harus impor dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan kedelai. Tahun 2017 saja produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi 20% kebutuhan kedelai sehingga sisa 80% harus diimpor (sumberdisini).
2. Diversifikasi penggunaan
Selain karena masalah impor, kedelai juga diperebutkan tidak hanya untuk tahun dan tempe saja, tapi juga jenis makanan olahan lain dan pakan ternak. Jadi sudah banyak komoditi turunan yang dihasilkan dari kedelai sehingga memicu tingginya impor kedelai karena meningkatnya kebutuhan lain.