Klinik gigi modern tidak lagi cukup mengandalkan keahlian klinis semata. Di tengah perubahan karakteristik tenaga kerja terutama dari generasi Z yang merupakan digital native, ekspektasi terhadap tempat kerja ikut berubah drastis. Studi menunjukkan bahwa 40% Gen Z menginginkan interaksi harian dengan atasan, sementara 84% menganggap pelatihan formal di awal kerja sebagai kebutuhan utama. Bahkan, 75% di antaranya lebih memilih pekerjaan yang selaras dengan nilai pribadi, dan lebih dari 60% memprioritaskan kesehatan mental serta keseimbangan hidup. Dalam konteks ini, saya sebagai dokter gigi sebuah klinik di Pelaihari mengambil peran ganda sebagai klinisi sekaligus "Manager`", untuk menyeimbangkan idealisme medis dengan praktik manajemen sumber daya manusia yang adaptif dan bernilai.
1. Fenomena dan Tantangan SDM di Klinik Gen Z
Memasuki dunia kerja, Gen Z hadir dengan ciri khas yang menantang sistem manajemen SDM konvensional. Sebagai generasi digital native dengan orientasi fleksibel, independen, dan kritis, mereka menuntut struktur kerja yang lebih terbuka dan responsif. Mereka menghargai fleksibilitas (termasuk kerja jarak jauh), sistem teknologi terintegrasi, serta budaya kerja yang suportif. Ketika pelatihan awal, komunikasi terbuka, dan nilai pribadi tidak terpenuhi, kecenderungan mereka untuk berpindah kerja pun meningkat. Hal ini mendorong klinik gigi untuk mendesain ulang strategi pengelolaan SDM dengan pendekatan yang adaptif, relevan, dan manusiawi agar tetap mampu menarik dan mempertahankan talenta muda yang potensial.
2. Menggali Ekspektasi dan Gaya Kerja SDM Gen Z di Klinik Gigi Pelaihari
Mengelola tim Gen Z berarti memahami ekspektasi mereka yang kompleks dan sarat makna. Fleksibilitas jam kerja bukan sekadar preferensi, melainkan kebutuhan untuk menyeimbangkan praktik klinis, pembelajaran, dan waktu pribadi. Teknologi menjadi tulang punggung produktivitas dari sistem antrean online hingga rekam medis digital semuanya harus efisien dan mudah digunakan. Untuk membangun kepercayaan dan kompetensi sejak awal, pelatihan terstruktur melalui pendekatan microlearning perlu disediakan. Pertemuan mingguan, apresiasi spontan, dan komunikasi terbuka menjadi alat sederhana namun berdampak dalam menciptakan suasana kerja yang nyaman dan kolaboratif. Ketika klinik mampu menyelaraskan sistem kerja dengan nilai dan preferensi Gen Z, loyalitas dan inovasi akan tumbuh dari dalam tim itu sendiri.
3. Solusi: Strategis Pengelolaan SDM Klinik oleh Dokter--Manager Gen Z
Sebagai dokter sekaligus pemilik klinik, saya menyadari pentingnya pendekatan baru dalam memimpin tim yang dinamis. Pendidikan S2 Manajemen  saya ambil bukan hanya sebagai gelar, melainkan sebagai strategi nyata untuk menyusun fondasi kepemimpinan yang kuat. Saya membentuk struktur organisasi yang kolaboratif, merombak proses rekrutmen pegawai saya agar berfokus pada keselarasan nilai yang fleksibel dan berbasis teknologi.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak klinik atau institusi kesehatan belum siap mengakomodasi ekspektasi Gen Z. Menurut Parboaboa.com, 60% Gen Z di Indonesia merasa perusahaan mereka tidak menyediakan pelatihan atau pengembangan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan masa depan. Ini menciptakan rasa stagnasi dan menurunkan motivasi kerja. Selain itu, hanya 25% perusahaan di Indonesia yang memiliki program dukungan kesehatan mental, padahal lebih dari 60% Gen Z menempatkan keseimbangan hidup dan kesehatan mental sebagai prioritas utama.
Untuk menjawab tantangan ini, saya mengganti sistem evaluasi kerja dari model tahunan menjadi sesi coaching mingguan yang lebih personal dan membangun. Klinik saya jadikan ruang eksperimen ide dan inovasi, tempat setiap anggota tim merasa memiliki peran penting dalam pertumbuhan bersama. Semua ini bertujuan menciptakan budaya kerja yang tidak hanya produktif, tapi juga bermakna dan berkelanjutan.
- 4. Penutup:
Peran dokter kini tak cukup jika hanya menguasai sisi medis. Memahami manajemen, membangun sistem kerja yang relevan, dan membentuk budaya tim yang sehat adalah bagian dari profesi masa kini. Studi manajemen bisnis membuka cakrawala baru bagi saya bahwa membangun klinik bukan soal peralatan, tapi tentang manusia di balik layar. Klinik gigi ideal bukan sekadar tempat praktik, melainkan ruang tumbuh, tempat berbagi nilai, dan arena berinovasi bersama. Di balik senyum pasien yang terlayani dengan baik, berdirilah tim yang dihargai, bertumbuh, dan bekerja dalam harmoni.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI