Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Aku suka menulis apa saja yang singgah di kepala: fiksi, humaniora, sampai lyfe writing. Kadang renyah, kadang reflektif, dan selalu kuselipkan warna. Seperti hidup: tak satu rasa, tetapi selalu ada makna.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ketika Remake Bertemu Ekspektasi, Refleksi dari A Business Proposal Indonesia

9 Februari 2025   22:27 Diperbarui: 9 Februari 2025   22:27 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
A Business Proposal by Karen (Pinterest)

Dalam beberapa kasus, seorang aktor bisa saja merasa lebih percaya diri untuk membawakan karakter dengan interpretasi pribadinya, tanpa terlalu banyak merujuk pada versi aslinya. Ini bukan hal yang salah, tetapi dalam konteks remake, ada risiko bahwa ekspektasi penonton terhadap karakter yang sudah dikenal tidak terpenuhi. Jika perubahan yang dibuat terlalu jauh, disonansi antara harapan penonton dan yang tersaji di layar bisa menjadi bumerang.

Tak heran jika respons negatif bermunculan. Banyak yang merasa kurangnya chemistry, humor yang tidak seorganik versi asli, dan dinamika karakter yang terasa canggung membuat film ini sulit diterima.

Respons Publik dan Psikologi Ekspektasi

Dari sudut pandang psikologi sosial, ada fenomena menarik di sini: ekspektasi yang tinggi sering kali berbanding lurus dengan kekecewaan yang mendalam. Ketika sesuatu yang sudah dicintai dibuat ulang, penonton secara alami berharap mendapatkan pengalaman yang serupa atau bahkan lebih baik. Jika yang terjadi justru jauh dari itu, reaksi emosional seperti kritik tajam dan bahkan boikot menjadi hal yang hampir tak terhindarkan.

Pernyataan pemeran utama yang sempat menyebut penggemar drama Korea sebagai "fanatik" semakin memperkeruh situasi. Ini seperti menciptakan jarak antara dirinya dan audiens yang seharusnya dia tarik. Dalam dunia hiburan, memahami psikologi penggemar adalah kunci. Mereka bukan sekadar penonton pasif, tetapi juga komunitas yang punya keterikatan emosional dengan materi yang mereka cintai.

Pada akhirnya, kontroversi ini menunjukkan betapa pentingnya memahami konsep remake, ekspektasi penonton, serta peran aktor dalam membawa karakter yang sudah dikenal luas. Mungkin, ini bisa menjadi pembelajaran bagi industri film Indonesia ke depan dalam mengadaptasi karya populer agar lebih selaras dengan harapan penonton.

Film ini mungkin hanya satu dari sekian banyak remake yang akan datang, tetapi respons terhadapnya bisa menjadi refleksi bagi industri hiburan kita: bagaimana kita bisa membuat sesuatu yang baru tanpa kehilangan esensi dari yang lama?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun